Sidang

365 109 23
                                    

"Jujur. Kalian ngomongin apa kemarin di rumah Lino?"

Mampus. Itulah yang ada di pikiran Lino, Abin, Yosi, dan Handi. Felix tidak berpikir demikian, karena yang ada di pikirannya adalah, Oh my god, we'll be killed.

Dan sialnya, Umin berada di pihak Chandra saat ini.

Chandra dengan melipat dua tangannya di dada mengelilingi mereka berlima yang tengah duduk melingkar di sisi lapangan basket sepulang sekolah. Sementara itu, Umin sedang asyik bermain dengan bola basket di sudut lapangan.

Semua jantung insan yang duduk tertunduk di sana berdebar hebat. Bahkan siswa-siswi yang kebetulan hanya lewat pun merasa akan ada hal tidak biasa sedang terjadi. Pasalnya, jika anak-anak yang duduk melingkar itu sudah terdiam di hadapan Chandra, biasanya ada kesalahan yang mereka buat hingga membuat Chandra harus turun tangan untuk menyidang mereka.

Chandra bukan sok senior. Ia hanya mantan ketua OSIS yang tetap menjaga ketertiban di sekolahnya. Apa lagi ini menyangkut sahabat-sahabatnya. Ia tak ingin para sahabat yang juga sudah ia anggap adik berbuat kerusuhan atau kesalahan yang merugikan diri mereka sendiri atau orang lain. Ia hanya berusaha menjadi kakak yang peduli dan bertanggung jawab.

Di luar lapangan, Lia dan kawan-kawan dekatnya memantau. Mereka masih penasaran, apa yang mau Handi bicarakan saat istirahat tadi. Mengingat tadi Handi tidak jadi mengobrol dengan Lia dan Cherry lantaran bertemu dengan Chandra.

"Beberapa hari lalu, Lino, Abin, sama Yosi diem-diem bikin masalah di rumah orang. Untung hukumannya bukan sesuatu yang buruk." Chandra masih berjalan lambat mengelilingi adik-adiknya.

"Maaf, Bang," ucap Felix yang masih tertunduk. Walau bukan ia yang melakukan kesalahan, setidaknya suara milik pria blasteran itu dapat mewakili isi hati tiga kawannya. Ia harap tiga kawannya tidak terus-terusan dihantui rasa bersalah. Apa lagi sekarang Chandra mengungkit kesalahan mereka.

Untungnya, tidak ada yang berani mendekati mereka. Chandra tidak pernah mengamuk seperti orang kerasukan, tapi seluruh adik kelasnya tahu bagaimana tatapan seorang Chandra mampu membungkam orang yang berhadapan dengannya.

"Gue bangga sama kalian yang berani minta maaf dan enggak melarikan diri dari hukuman. Itu tanggung jawab kalian." Chandra menghentikan langkah. Ia tatap lima anak itu bergilir, kemudian mendengus. "Tapi harusnya di waktu-waktu selanjutnya kalian hati-hati dalam bertindak. Jangan teledor lagi. Apa lagi ngerencanain sesuatu sampe sembunyi-sembunyi lagi. Kalian ngelakuin kesalahan yang sejenis. Apa yang kalian rencanain sampe harus sembunyi dari gue, Umin, sama Jojo?"

Saat ini, Handi benar-benar sudah dibasahi oleh keringat. Selain karena lapangan basket tidak ber-AC, disidang Chandra memang selalu menciptakan atmosfer yang panas.

Handi ingat waktu SMP, ia bersama Yosi dan Abin pernah merobohkan jajaran motor tetangga saat sedang berlangsung acara hajatan hanya karena main kejar-kejaran. Abin mengejar Handi dan Yosi yang jahil merebut makanan Abin hingga saat Handi menoleh ke belakang, tiba-tiba ia menabrak dan merobohkan beberapa motor yang sedang terparkir. Ia jatuh, dan Yosi pun menubruknya dari belakang. Kemudian, Chandra menghukum ketiganya dengan cara meminta mereka mengganti kerugian atau Chandra akan bilang pada orang tua mereka agar mereka membersihkan rumah-rumah warga satu komplek. Kalau tidak mau, Chandra mempersilakan warga untuk membawa mereka ke pihak berwajib.

Terdengar sadis, namun sebenarnya Chandra hanyalah melatih tanggung jawab mereka.

"Kalian mungkin nggak akan jawab di sini. Mungkin juga itu privasi kalian. Tapi gue mohon, tolong sadar. Kalo emang itu sesuatu yang ngerugiin orang lain atau diri kalian sendiri, tolong berhenti. Jangan lakuin itu." Chandra memasukkan dua telapak tangannya ke saku celana. Menghela napas panjang, ia kemudian membuangnya perlahan. Berusaha mengontrol emosi.

"Silakan kalian minta maaf ke diri kalian sendiri. Kalo ada orang lain yang udah kalian rugiin, minta maaf sama orangnya." Chandra menoleh ke arah Umin. Tanpa kata apapun, Umin segera datang mendekat. Terlalu peka. Chandra kemudian berpesan, "Inget, kalian udah gede. Kalian tau mana yang salah mana yang bener. Nggak perlu gue kasih tau lagi. Suatu saat kita bakal hidup sendiri-sendiri. Nggak mungkin gue mantau kalian selamanya. Jadi gue mohon, ini buat kebaikan kalian sendiri."

"Ya, Bang," jawab Felix.

Sedari tadi, hanya Felix yang cukup berani mengeluarkan suara karena ia merasa tidak berbuat jahat pada siapapun. Ia hanya mengikuti alur dan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi anak baik.

"Kalo kalian udah mau ceritain rencana kalian, ceritain di grup. Atau nanti ketemu di rumah siapa. Jangan segan-segan cerita ke gue atau siapapun di antara kita. Kita udah bertahun-tahun bareng. Gue juga berusaha buat selalu dengerin kalian. Gue berusaha ada buat kalian, bantu kalian. So, gue minta kalian jangan sungkan. Oke?"

"Ya, Bang," jawab enam anak di dekat Chandra serempak. Sudah seperti kegiatan pramuka saja.

Chandra mendengus lalu tersenyum. Memandang enam anak di hadapannya seperti memandang adik-adiknya sendiri. "Sekarang, yuk, pulang! Udah sore banget."

Mereka pun membubarkan diri.

Hanya Handi yang masih menetap di sekolah, menghampiri Cherry untuk tetap memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Emang kalian semalem ngapain, Han?" tanya Ryani yang juga sedang bersama Cherry dan yang lain.

"Semalem? Gue sama Cherry? Apa gue sama anak-anak yang lain?" tanya Handi balik.

"Lo sama temen-temen lo. Kalo sama Cherry, mah, gue udah tau," ucap Ryani seraya tersenyum jahil.

"Oh. Dih, kepo!" Handi menghela napas, berusaha mengontrol debaran jantungnya yang saat ini seperti pukulan drum di lagu hardcore. "Cher."

"Hmm?" Cherry menaikkan dua alisnya.

"Pulang bareng yuk! Naik sepeda lagi."

Cherry yang terkejut menatap teman-temannya bergilir. Untungnya, tak ada satupun dari kawannya itu yang memasang ekspresi yang mengisyaratkan bahwa mereka tidak boleh pulang berdua.

"Eh, tapi langsung pulang, loh!" pesan Lia. "Awas, lo, Han, kalo bawa kabur Cherry ke mana-mana. Gue ada perlu, nih, sama Cherry. Penting."

Kemudian, secara spontan Handi berpikir keperluan penting itu menyangkut Dori.

"Oh, oke. Langsung pulang." Handi mengangkat jari kelingkingnya kemudian tersenyum meyakinkan.

Selain jantung Handi, ada jantung lain yang sebenarnya berdebar hebat ketika sampai di tempat parkir sepeda Handi.

Cherry.

"Udah?" ucap Handi setelah Cherry naik ke pijakan di roda.

"Udah."

Dengan semangat, Handi mengayuh pedal sepedanya. Berangkat meninggalkan kawasan sekolah, Handi akhirnya bicara, "Cher, ada yang mau gue omongin. Soal Dori."

Jantung Cherry bertalu. Mulutnya terbungkam. Cengkeramannya pada bahu Handi menegang, seolah tangannya membeku.

"Cher?"

Hampir saja tangan kiri Handi bergerak untuk menggerakkan spion. Bermaksud melihat Cherry dari kaca spion. Namun untungnya dia cepat sadar kalau sepedanya tidak memiliki spion.

"Cher, lo nggak pa-pa, kan?" tanyanya memastikan.

"Enggak."

"Oke." Handi menghela napas. "Soal Dori kemarin, lo yang dapet jatah ngerawat Dori kemarin, kan?"

"I-iya."

"Dori hilang ya?"

••

Mas Kucing [END] ✓Where stories live. Discover now