"Jadi—kau dan mereka semua—"

"Benar," tukas Azura seakan tahu ke mana landasan ucapanku mengarah. "Hanya seperti itu. Katakanlah semacam ucapan oleh pendahulu: 'Nah, nanti selama ratusan ribu atau milayaran tahun mendatang, akan ada beberapa orang yang asalnya dari Bumi di sini yang bertepatan dengan Blue Moon. Camkan itu.' Kira-kira seperti itu, hanya semata kalimat, tiada sambungannya lagi."

"Aku ada pertanyaan lain," akuku. "Kau mengatakan kalau dirimu sebagai Bangsa Pengendali Elemen Angin di Aethiopica Utara, sedangkan kau memaparkan ada setidaknya enam—"

"Empat."

"—Bangsa Pengendali Elemen." Aku mendesah singkat. "Ah, iya, maksudku empat."

Gadis itu menyampirkan beberapa helai rambut kecoklatannya ke belakang telinga, kepalanya menengadah padaku. "Pertanyaanmu random juga, tapi tak apa," katanya, "Aethiopica memiliki empat elemen khusus. Angin, air, tanah dan api. Setiap jubah memiliki warna yang berbeda, masing-masing menunjukkan elemen apa yang ada pada diri mereka. Putih keabuan—seperti kukenakan sekarang—untuk angin, merah untuk api, biru untuk air dan coklat untuk tanah. Tempat kami berasal ditandai dengan arah mata angin. Utara, Barat, Selatan, Timur."

"Sementara ungu?" Aku bertanya sambil memikirkan segelintir pria mau pun wanita mengenakan jubah ungu sebelumnya.

Arrathastaga! Binatang ini kulihat tersenyum padaku—menggeliat dalam gendongan Azura. "Khusus," jawabnya singkat. "Misalnya Para Petinggi Negeri." Pandangan gadis ini beralih padaku beberapa detik yang singkat. "Dan aku baru sadar kalau kalian juga mengenakan jubah yang senada."

Oke. Setidaknya lihat sisi baiknya di sini: aku lumayan paham penjelasan Azura demikian. Sayangnya, persoalan kakek Loy dan Neo masih menjadi sebuah misteri yang hancur berkeping-keping. Aku harus berusaha mencari dan memungut pecahan puzzle misteri itu, lalu ditempel rekat-rekat di dahiku agar selalu mencatatnya.

Mulutku setengah terbuka ingin menanyakan hal yang lainnya, namun ketika samar-samar terdengar suara teriakan seseorang, membuatku mengurungkan niat. Inginnya aku menyebut sebagai 'raungan', tetapi ketimbang disebut seperti demikian, suara ini lebih pantas dikatakan suara-seorang-lelaki-berteriak-kesakitan.

"Mereka datang," imbuh Azura. Pencahayaan biru yang menerpa, membuatku membaca kontur wajahnya: gadis ini tahu sesuatu. Tentang suara ini.

Aku semakin mendempet Neo. Pemuda ini tentu tak akan risih sedikit pun, malah tangannya bergerak menelusup pinggulku. Aku mengerling padanya seolah mengatakan: 'Jangan berani-berani merangkulku.'

"Mereka—siapa yang kau maksud?"

Suara teriakan lelaki—yang kuduga remaja—ini menelusup lagi ke dalam kuping. "Berhenti, Monster Kecil!"

"Setelah kau dengan sengaja tidak menyampaikan izinku pada guru? Aku tak akan berhenti!" Kali ini, suara gadis remaja yang membalas. Terdengar berapi-api.

Di jalan setapak bebatuan kecil yang kami lewati barusan, seorang lelaki bertubuh macam tangki air muncul. Ia mengenakan jubah merah, semerah wajahnya yang sepertinya sedang dilanda amarah. Tak lama, bola-bola tanah dilemparkan seseorang dari belakang pemuda besar itu, disertai gadis muda—dan agak mungil—dengan jubah warna coklat.

"Pengendali Tanah," kata Azura sambil tersenyum. "Dia berasal dari Aethiopica Barat."

"Salahmu sendiri berbohong!" Remaja lelaki menjawab.

Rambut gadis berjubah coklat ini diikat dua ke samping, maka surai hitam legamnya tampak menari ria di udara. Air wajahnya tampak murka, dia berkelakar, "Dasar dengkul Naga!"

Saat beberapa meter di depan, remaja lelaki itu berhenti secara reflek, membuat bobot mini dari gadis remaja di belakangnya menabrak punggung si pemuda, membuatnya mengaduh. Ekspresi terkejut terlukis di keduanya kala arah pandang mereka tertuju padaku dan Neo. Seakan-akan mereka tengah melihat dinosaurus berkaki emas sedang debus.

"Mereka berdua—mereka nyata!" Tanpa diduga-duga, gadis ini mendekat antusias. "Azura! Katakan padaku kalau aku tidak sedang bermimpi!"

Si gadis berjingkat-jingkat melangkah mendekat, diiringi remaja lelaki di balik punggung yang berjalan kaku. Arrath mengeluarkan suara kecil, membuatnya dengan lincah meloncat dari gendongan Azura dan lari entah ke mana. Siapa pun bakal seperti itu kala menyaksikan gadis berjubah dengan surai diikat dua kiri-kanan itu berlari macam ingin melahap kami bulat-bulat.

Neo, semakin menggeliat aneh. Sedikit flashback, sepertinya pemuda ini menyimpulkan dua remaja di depannya ini sebagai ancaman dan tak pikir dua kali bogemnya bakal bersarang di batang hidung. Agar tak ada memar dan bengkok hidung, aku menahan tubuh Neo dengan satu tangan—setengah hati melakukannya.

"Dia Nay," beritahu Azura. Gadis bernama Nay ini membuatku berpikir memiliki semacam per jungkat-jungkit di dengkulnya—kelakuannya aneh. Kulit wajahnya sedikit lebih cerah, dengan bintik-bintik kecil di area bawah matanya yang memiliki tahi lalat kecil di sudut kanan.

Bertindak sopan, aku ingin memperkenalkan diri, "Namaku—"

"Panggil aku Nay!" katanya girang. "Dan aku bisa melakukan ini." Tangan kanan gadis itu terangkat. Bunyi rekahan tanah kentara jelas, membuatnya membentuk sebongkah yang melayang ke udara. Remah-remah kecoklatan berjatuhan membuatku tersentak mundur. Sekali kibasan, sebongkah tanah itu terlempar mengarah ke bawah bukit.

Azura lagi-lagi berkata, "Dan pemuda itu bernama Ridan. Maaf, wajahnya memang seperti itu—seperti sedang marah ke semua orang. Tapi dia ini sebenarnya sangat ramah dan—"

"Nay! Azura! Menjauh dari dua orang itu!"

"—dan tidak mempercayai sama sekali tentang ramalan pendahulu."

Postur pemuda bernama Ridan ini macam Wreck It Ralph di dunia nyata—besar dan berotot. Setiap gurat wajahnya membentuk garis-garis yang akan membuat seseorang menduga ia tengah memusuhimu pada pandangan pertama. Seperti saat ini, keningnya tertekuk sempurna, sorot pandangnya yang tajam mengirim sinyal darurat pada radarku. Bulu romaku berdiri.

"Dia seperti itu pada semua orang." Azura berbisik dengan suara yang ditekan. "Jangan dipikirkan—yah, meski dia pernah membakar bokong seseorang dengan Elemen Api-nya."

Tentu aku malah kepikiran. Belum dua puluh empat jam di sini, aku seperti telah dimusuhi. Inginnya aku pergi dari sini bersama Neo dan memohon maaf saja pada Azura, tetapi kurasa itu sikap buruk. Bukan hal bagus membuat masalah di negeri orang.

Pemuda besar itu—Ridan, maksudku—bergerak mendekat. Kontur wajahnya membuatku merinding. "Azura, Lian sedang mencarimu di Royalion," katanya. Kedua bola matanya memandangku dan Neo. Ekspresinya seolah tengah menguliti wajah kami berdua secara bergiliran. Dia kemudian berkata, melontarkan suara beratnya, "Tidak ada waktu untuk orang-orang ini."

==0==

ReviSHIT ini sangat membagongkan, miskah (ノಠ益ಠ)ノ

di chapter #11 ini banyak sekali yang saya rombak. Seluk-beluk tentang ramalan pendahulu, serta percakapan Azura dkk, khususnya. Saya reboot sedikit mengurangi hal-hal yang terkesan info dumping dan kadar ke-childish-an percakapan mereka. Semoga berhasil, yak. 〜(꒪꒳꒪)〜

fun fact: postur tubuh Ridan versi sebelum reviSHIT lebih ke kurus tinggi, daripada kayak Ralph. Dan dia ini, nggak segalak seperti yang sekarang '-')b

#1 The Prophecy: a different world Where stories live. Discover now