Tak lama, seorang pria berjubah senada mendekati Neiran, membungkuk sambil mendekatan berbisik. Setelah diberikan anggukan oleh pria itu, dia kembali pergi.

"Tuan Loy?" Neiran berkata, membawa tatapan segelintir orang-orang di meja ini pada kakek. Sementara, atensi pria itu teralihkan sedetik kemudian. Kakek Loy mengadah pada Neiran, sebuah simbol tanda tanya menggantung di jidatnya. "Maaf menganggu, bisakah kita berbicara sebentar?"

"Oh, tentu saja." Kakek Loy menaruh buah yang baru saja ia cengkeram kembali pada nampan. 

Neiran berlagak ganjil. "Tidak di sini," imbuhnya.

Aku menatap Neiran curiga. Jauh di dalam lubuk hatiku, sepertinya terdapat sesuatu yang ia sembunyikan—atau lebih tepatnya sesuatu itu ada pada kakek Loy.

"Ah, tentu saja." Kakek Loy bangkit, mengernyitkan kening padaku, sebelum akhirnya menjauh bersama pria berjubah ungu gelap itu dalam kerumunan.

==0==


Usai dijamu makanan, aku dan Neo membaur pada keramaian. Berpapasan dengan orang-orang Aethiopica yang tersenyum ramah. Lingkungan di sini kurang lebih sejenis kisah kerajaan-kerajaan kuno yang pernah kusaksikan filmnya. Akan tetapi, Aethiopica memiliki ciri khas sendiri. Misalnya jubah panjang yang membalut tubuh fisik mereka.

Cahaya biru temaram berpendar dari lingkaran raksasa di langit aurora. Barangkali inilah yang mereka sebut dengan Blue Moon. Seperti bulan purnama, tetapi versi berkali lipat lebih besar dengan warna biru tenang. Melihat ke area pepohonan, makhluk-makhluk kecil melayang-layang di udara bebas. Seperti gerakan ubur-ubur yang leluasa di dasar laut. Mereka memancarkan cahaya putih samar yang teduh. Menghias pesona malam dengan keindahan fantastis.

Neo tersaruk ke samping, ketika beberapa anak kecil—barangkali umur enam tahunan—berlarian di sekitar kami. Jubah yang membalut badan mungil mereka terbawa tarik gravitasi, membuatnya melayang. Di antaranya, yang perempuan berdiri di depan kami berdua. Gurat wajahnya membentuk ekspresi melongo.

Lantas alisku terpaut heran. Sebelum kumenanyakan ada apakah gerangan dengan gadis cilik berjubah kecoklatan ini, dia lebih dulu berbicara dengan nada penuh tanda tanya. "Apakah dia pasanganmu—laki-laki bermata biru itu?"

Aku hendak menukasnya, tetapi sedetik kemudian seorang wanita, yang juga mengenakan jubah senada dengan gadis cilik ini, datang mendekat. Dicengkeramnya lengan si gadis cilik, yang masih menatap aku dan Neo penasaran. Wanita itu memberi senyum hangat, sehangat ketika ia mengucap maaf kepada tindakan—yang barangkali—anak gadisnya di depanku ini. Aku mengangguk dan tersenyum ramah, lantas mereka pergi begitu saja.

Meninggalkan perasaan aneh akibat pertanyaan gadis itu barusan.

Wush!

Bahuku tersentak, seperti tengah ditabrak oleh embusan angin tak kasat mata. Neo reflek menjaga keseimbangan tubuhku agar tak jatuh. "Terima kasih," kataku setengah hati—tentu saja.

Aku hampir meloncat merinding ketika sesuatu bergerak—berlari lebih tepatnya—melesat di kedua tungkai kakiku. Kuperhatikan ketika makhluk ini diam tak jauh di depanku. Dia sepertinya adalah hewan. Tipe mamalia berkaki empat, memiliki kulit berwarna biru. Anehnya, dia berkepala seperti reptil, sementara anggota tubuh lainnya tampak seperti hewan berkaki empat pada umumnya. Bola mata besarnya bergerak lincah.

"Hei, tunggu!" teriak seorang gadis. Dari orang-orang yang tengah lalu-lalang, seorang perempuan mungkin sebaya denganku mendekat. Ia mengenakan jubah panjang putih keabu-abuan, tudungnya dibiarkan terbuka. Rambut panjang kecoklatannya tampak menari-nari.

Dia berjongkok, kedua tangannya tergerak untuk membawa hewan ini dalam dekapan lengan. Gadis ini mendongak, kedua sudut bibirnya terangkat. "Maaf, aku tidak sengaja," katanya. Bola matanya yang sayu memerhatikan hewan itu, sambil mengelus puncak kepala, membuatnya bergerak geli. Ia lalu mendongak lagi, "Apakah kalian baik-baik saja?"

"Eh—ya. Kami baik-baik saja," jawabku sekenanya. Lalu aku menyadari sesuatu. "Em—sebentar, kau minta maaf padaku untuk?"

Dia berdiri sambil menyeka beberapa bulir keringat di pelipis. Sekilas ada gurat wajah letih di sana. "Maaf untuk Arrath,"—dia lagi-lagi mengelus hewan di dekapannya ini penuh kasih—"dan embusan angin yang membuatmu tersentak barusan."

Aku mengernyit.

"Oh, kalian berdua pasti orang-orang yang ada dalam ramalan pendahulu itu—astaga! Maaf—" Dia bergerak tak nyaman.

"Aku lebih suka kita bersikap tidak formal," paparku, membuatnya mengatur nafas lega—sedikit leluasa sepertinya.

"Baiklah, jika itu kemauanmu," balasnya singkat, lagi-lagi tersenyum ramah. "Pertama, namaku Azura, salah satu bangsa pengendali elemen angin di bagian Aethiopica Utara."

Jadi ... sesuatu yang kuduga tak kasat mata yang membuatku tersentak barusan ....

Ada beberapa hal di tempat ini yang menggelayuti pikiranku. Semuanya tak kunjung mendapat jawaban yang betul-betul bisa membuatku tidur tenang. Misalnya tentang bangsa pengendali elemen angin yang Azura katakan barusan, lalu persoalan ramalan pendahulu—yang seakan-akan kami bertiga datang ke sini sudah tercatat dalam sebuah buku, atau apa pun itu.

"Maaf sekali lagi, sepertinya aku harus pergi untuk memberi makan Arrath ini di bukit," pamit Azura, "semoga kita bisa bertemu lagi." Dia berbalik, tetapi—entah atas dasar keberanian apa—aku mencengkeram lengannya secepat citah. "Boleh kami berdua ikut denganmu?

Dia setengah membungkuk, lalu berkata lembut, "Dengan senang hati."

Sepertinya aku perlu banyak mengetahui bermacam hal pada Azura.

#1 The Prophecy: a different world Where stories live. Discover now