G:re Chapter 17 : itu Memang Azmi.

478 88 10
                                    


          Berdiam diri layaknya orang bodoh. Saguna merasa hari ini tak berjalan seperti keinginannya. Ia hanya sibuk memandangi orang-orang yang berlalu lalang pergi keluar masuk proyek. Sudah dua minggu proyek dilaksanakan, tanah yang sebelumnya rata dan ditumbuhi rumput liar kini sudah mulai digali.

          Pengukuran, pengecekan, semua data sudah lengkap. Rais yang ditugaskan meninjau dan memantau lokasi sudah tiba di tempat. Ditemani dengan beberapa anak-anak PKL. Tak semua bisa ikut serta karna adanya pengelompokan dari pihak kantor.

          Saguna yang tau merasa sedikit kecewa tanpa ada hadirnya Azmi. Maka dari itu ia merasa sedikit canggung, belum terlalu terbiasa dengan orang-orang baru. Karna alasan itu sedari tadi ia hanya bisa berdiam diri, ia sudah percayan tugas kepada para ahli.

          Selalu bertanya kepada para tukang di sana, Hanan tak melewatkan kesempatan. Jarang-jarang ia bisa turun langsung ke lapangan. Berbeda halnya dengan Rifqi yang pandai dalam menyimak. Ia rekam semua pembicaraan yang terkait akan mata kuliahnya tersebut.

          "Beruntung kalian bisa langsung meninjau lokasi, padahal dari kemarin niatku ingin mengajak Azmi padahal," ucap Rais didengar Saguna.

          "Ya, mau gimana mas, tadi kan kak Khan bersikeras enggak ngebolehin Azmi. Kayak di anak emaskan gitu." Hanan tertawa akan ucapan yang dilontarkan Rifqi. Sama sekali tak ada niatan iri di lubuk hati mereka. Malah mereka menjadi lebih tenang untuk mendiamkan Azmi di kantor perusahaan.

          "Sstt ... aku jadi agak curiga, ada hubungan apa mereka? Jarang-jarang Khan bisa seperti itu ke orang lain."

          Pergibahan sesaat yang mereka lakukan sontak membuat Saguna tertawa. Pasalnya ia yang sudah tau teringat akan permintaan yang menurut Saguna itu terlalu konyol. "Mungkin mereka dekat karna ada rasa saling nyaman, sesuatu yang wajar."

          "Maaf, aku tak mengerti maksud anda, tapi anda tau kan Azmi seseorang yang ...." Rais memutar telunjuk disamping kirinya. "... yah, seperti itu. Dia sangat, tak sopan, tapi dia memang tipikal orang yang sangat nyaman. Di sampingnya saja bahkan aku merasa, gemas?"

          Jarang ada seseorang yang bisa memikat. Saat pertama kali bertemu ia sudah sangat menyayangi Azmi. Tata cara ia bersosialisasi, memperlakukan orang lain, bersikap terhadap orang tua. Dia yang pandai membangun suasana.

.G:re.

          Cuaca siang hari yang terik, Azmi berlalu pergi meninggalkan meja kerjanya. Bergegas keluar menuju tempat paling depan, menuju pos, tempat yang sangat jarang Khan kunjungi. Berhenti sejenak di bawah pohon yang terdapat lincak.

          Memukul pelan dadanya yang sesak. Obatnya yang tersisa tinggal dua butir ia telan langsung tanpa bantuan air. Sudah terlalu malas untuk kembali ke dalam.

          "Owalah, jadi Masnya ini, toh, yang buang bungkus obat di kamar mandi dulu. Masih banyak obatnya, kok, udah dibuang. Eman-eman, mubazir."

          Tabung obat yang sudah kosong langsung saja Azmi buang ke dalam tong sampah di dekatnya. "Obat yang dulu udah bukan dosisnya lagi Pak Agus, udah nambah, alhamdulillah," ucap Azmi membela diri.

          Agus menatap Azmi lembut. "Kalau boleh Bapak tau, Mas sakit apa? Masih muda, eman banget Bapak lihatnya."

          "Sakit maag akut, gastritis. Bapak tau kan? Salah Azmi sendiri, sih, Pak, tak menjaga pola makan dan minum. Jadi, ya gini, masih muda sudah nelen obat-obatan, tapi bukan narkoba."

           Agus merasa iba. Ia seperti tak asing mendengar kata 'gastritis'. Suatu penyakit yang bisa berubah menjadi sebuat penyakit ganas, kanker. Ia jadi teringat almarhumah ibu Khan. Seorang wanita yang selama beberapa tahun ia jaga atas perintah Khan.

          "Sekali-kali minum air gula hangat, nanti Bapak buatkan. Kamu mengingatkan Bapak pada seseorang, almarhumah Nana, Ibu Khan. Beliau orang baik, dermawan, tetapi Gusti Allah lebih sayang. Beliau memiliki dua anak, yang satunya bapak kurang tahu. Bapak cuma diberi foto waktu kecilnya, sangat manis.

          "Namanya Aufa, dari parasnya di foto dia perempuan yang manis, tetapi juga terlihat tomboi. Ini, bapak punya salinannya. Bapak ingin banget ketemu, dia tinggal di malang. Mas Khan juga sudah janji mau ngenalin. Mungkin sekarang dia sudah seusia kamu Azmi. Ora sabar pengen eroh parase lek wes gedhi."

          Perasaan Azmi berkecamuk, ingatannya silih berganti. Ia pandang foto semasa kecilnya. Tertawa pelan, lalu tanpa sadar ia meneteskan air mata. "Dia ini bukan perempuan, Pak. Tak disalahkan jika foto ini sering membuat orang lain salah paham."

          Azmi beranjak pergi, kerinduannya kembali muncul. "Bapak jaga kesehatan, Azmi balik ke kantor dulu, permisi." Terakhir kali saja bahkan ia tak bisa berjumpa dengan sang ibu, sangat sesak.

.G:re.

          Derap langkah dan batuk mendominasi dapur. Hana yang memasak dikagetkan Azmi yang terburu-buru meminum air putih yang langsung saja tersedak. "Pelan-pelan, nak."

          "Tad-di, Azmi bar-hu saja bersihin kha-hah-mar. Hah ... emshk~ tadi Azmi bersihin kamar. Bulunya copot, kemocengnya, Ma, masuk ke mulut Azmi. Nyangkut, sekarang udah ke telan."

          "Semoga aja bulunya keproses di dalam, ya. Kamu juga aneh-aneh, bersihin apa? Kan kamar kamu selalu bersih, nak."

          "Itu, Azmi lagi nyari album foto. Ini, Mama mau lihat? Album yang Azmi simpan. Mau Azmi pasangkan sama foto pas kita di penginapan."

          Hana mulai membuka lembaran album lawas. Terdapat potret Nana yang sangat anggun sedang menggendong seorang anak kecil. Di sampingnya juga terdapat Hendra yang juga menggendong Khan dipunggung. Khan tersenyum sangat lebar hingga bola mata hitam ponixnya tertutup oleh bulu dan lipatan kelopak mata.

          Potret sebuah keluarga kecil yang berbahagia. Bagaimana proses seorang Azmi tumbuh dari kecil hingga dewasa. Apa karna ini almarhumah Nana dulu selalu berpesan untuk mengabadikan moment kebahagiaan Azmi?. Dari wisuda SMA hingga masuk ke universitas yang ia minati. Semua terkumpul di dalam album, setiap foto yang memiliki ceritanya masing-masing.

          "Ini waktu Azmi ulang tahun, di tahun baru, sampai hadirnya Mama. Terika kasih, Ma, sudah merawat bunda, ayah, kakak, dan sekarang Azmi yang jadi banyak merepotkan Mama. Azmi sayang Mama. Maafkan Azmi."

          Tanpa banyak berkata, Hana langsung mendekap putra sambungnya. Masih menggunakan celemek. Ia tinggalkan barang sebentar kegiatannya. Putra bungsunya, tak ada yang lebih utama dari Azmi yang mulai terbuka dengannya.

          "Mama juga sayang kamu ...." Ada jeda sangat lama. Hana menghirup bau parfum Azmi. Sangat khas. "Aufa." Tanpa ada rasa bosan mengucapkan rasa sayang kepada orang terkasih.

.G:re.

Memandang sendu di depan.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Mengetik, 1 November 2020
Publikasi, 15 November 2020

GASTRITIS :reWhere stories live. Discover now