G:re Chapter 8 : Bertemu, Peran dan Penyesalan

653 90 19
                                    


          Janji yang harusnya ditepati pada hari jum'at sore mundur menjadi sabtu sore. Semenjak kejadian pagi itu Khan sedikit kehilangan fokus akan pekerjaannya. Melihat adiknya yang diam di kantor menimbulkan rasa khawatir. Bahkan sabtu malam adiknya itu tak pulang ke rumah.

          Khan menyenderkan punggung lelahnya. Nomor yang sedari tadi ia hubungi terus saja menolak panggilannya. Spam chat bahkan dihiraukan.

          "Udahlah, dia bakal kembali ke rumah juga. Nggak mungkin dia bisa bertahan di luar lama-lama. Bukannya udah jadi kebiasaan dia nggak pulang ke rumah."

          "Gue juga udah biasa dia nggak pulang ke rumah, tapi pak Agus kemarin bilang ke gue kalau beliau nemu obat di tong sampah, dan itu banyak, lo harus tau, Gaf. Gimana gue nggak khawatir."

          Sambil berkendara Ghaffar menampilkan mimik tanya. Kedua alisnya bertaut dan jidatnya berkerut. Untung saja matanya masih terfokus akan jalanan di depannya. Laju mobil kini perlambat, jalanan pun tak begitu ramai akan lalu lalang kendaraan.

          "Maksud, lo? Obat?"

          "Gue yakin itu obat Aufa, obat yang beberapa minggu lalu diberikan ayah."

          "Kenapa ada di tong sampah? Dia ngebuang itu obat? Kok bodoh sekali dia ngebuang di situ."

          Khan memutuskan untuk diam. Ia menutup erat kedua kelopak matanya. Menormalkan laju pernapasannya, dan sebisa mungkin ia singkirkan pikiran buruk yang tiba-tiba hinggap ke otaknya.

          Adiknya benar-benar telah berubah. Ia bahkan dengan berani membuang barang pereda sakitnya. Bahkan secara blak-blakan ia buang di tempat yang bakal di temukan olehnya. Apa Azmi sengaja? Dimana kewarasan anak itu?

          "Fokus kerja saja sekarang, lo nggak usah mikir macem-macem. Adhek lo bakal baik-baik aja. Ntar lagi nyampek ke lokasi, jangan malu-maluin. Fokus, Khan."

          Khan menganggukkan kepala. Ia harus bersikap profesional. Client yang sudah ia batalkan janji kemarin, ia tak boleh membuat client menunggu lagi. Sebuah pekerjaan harus dikerjakan secara maksimal.

          Kini mobil itu memasuki pekarangan sebuah gedung. Gedung yang menampung banyak sekali lansia. Dari dalam mobil dapat Khan lihat seseorang sedang menunggu kedatangannya.

          Saguna berjalan menghampiri. Senyum sapanya kala Ghaffar dan Khan keluar dari mobil. Ia menuntun keduanya masuk ke dalam panti. Banyak pasang mata kakek dan nenek melihat kedatangan dua orang asing itu.

          Khan menatap Saguna. Ia terkejut melihat orang yang beberapa waktu yang lalu bertemu dengan sang adik. Oh, ayolah, kenapa dunia begitu sempit?

          "Nama saya Saguna, anak pemilik panti ini. Saya perwakilan dari ayah untuk menyerahkan berkas ini kepada anda."

          Berkas map hijau itu langsung di buka oleh Khan setelahnya ia serahkan kepada Ghaffar. Sedikit mereka berbincang santai. Hingga dirasa saling memiliki kesamaan selera. Cukup lama mereka berbincang mengenai proses pembangunan gedung untuk pelebaran tempat panti. Sampai hujan kala sore turun menbasahi jalanan. Sangat deras sampai-sampai kilatan petir saling saut menyaut.

          "Mungkin kalian harus menginap di sini, jalanan tak mungkin bisa dilewati jika seperti ini, akan sangat berbahaya."

          "Maaf, sekali lagi kita merepotkan Anda." Saguna menggeleng. Ia lantas menuntun Khan dan Ghaffar menuju meja yang biasa digunakan untuk makan bersama.

          "Sebagai tuan rumah, saya harus menjamu tamu dengan baik. Silahkan hidangan yang tidak seberapa ini dinikmati. Saya permisi seben-"

          "Na! Azmi, Na!" Seseorang berteriak dari arah ruangan lain, ia berlari tergopoh-gopoh menuju Saguna. "Azmi badannya panas banget, ini gimana? Dia ngigau terus. Apa kita panggilin keluarganya aja, atau langsung bawa ke rumah sakit, gue bingung," ucap Gaga.

          Saguna yang tak enak terhadap tamu menyeret Gaga ke tempat lain. Namun, sebuah tangan menyentuh pundaknya. Saguna melihat wajah Khan yang kini berubah tak biasa. Ghaffar pun demikian.

          "Azmi? Dia di sini?" ucap Khan disambut dengan tatapan tanya dari Saguna.

<G:re>

          Lelaki yang sudah berumur itu berulang kali menelepon salah satu anaknya. Namun, sinyal yang terlalu buruk tak memungkinkan panggilan telpon akan segera terangkat. Ketiga anaknya yang malam ini tak pulang. Sudah dua hari ini ia hitung Azmi tak menampakkan batang hidungnya.

           "Yah, ini udah mau malam, hujan sepertinya juga akan segera turun. Masuk rumah dulu aja, Yah. Mungkin mas sama kakak lagi kejebak hujan."

          Hana yang melihat itu mau tak mau ia pun menghampiri sang suami dan menuntunnya kembali masuk ke dalam rumah. Guntur yang terdengar keras hingga membuat Hanin terlonjat kaget dari tempatnya berdiri.

         Hujan masih saja menyapa, pergantian musim masih belum terasa. Suatu musim yang memiliki keunikan tersendiri. Ciptaan alam yang dihasilkan sangat memukau mata. Biru langit yang tertutup awan kelabu dengan penari latar petir disekitarnya.

          "Azmi," gumam Hanin dikesendiriannya menatap langit.

          "Seharusnya aku tak perlu melakukan hal itu, Hana. Mas nyesel." Suara Hendra terdengar dari teras depan, langsung saja Hanin bergegas pergi ke dalam.

          "Maafkan Mas, Mas tidak becus menjadi seorang ... ayah serta suami yang baik. Maaf ...."

          Seperti seharusnya, kembali ke diam. Cukup dengan diam. Biarkan diam mengambil perannya.

<G:re>

Azmi?

Azmi?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lxek

Mengetik, 10 Juni 2020
Publikasi, 21 Juni 2020

GASTRITIS :reWhere stories live. Discover now