33. Lagi-lagi

343 36 3
                                    

Seminggu berlalu namun pikiranku masih saja tertuju pada perpisahan dengan Langit, aku tidak mengira kalau ini akan sangat panjang. Membuat tidur tak nyenyak, geser sana geser sini hingga seluruh posisi tidur aku lakukan tapi nihil. Hubunganku dan Langit juga masih seperti biasa, setiap hari bertukar pesan atau sesekali mengobrol saat berpapasan.

"Nanti gue sama mama pulang telat, agak malem sih," ucap Bang Reno yang sedang mengunyah makanannya.

"Yaudah Rani makan di luar."

"Dih kaya berani."

"Gak usah ngeledek deh, udah sana berangkat. Udah tua masih aja gak tahu waktu."

Bang Reno hanya menjulurkan lidahnya, meledekku yang tengah melotot kesal padanya. Bang Reno keluar dan aku kembali memikirkan Langit. Ada rasa takut yang menjalar dalam dada dan pikiran, aku menaruh kepala di atas lenganku dan membiarkan pikiranku melayang kemana saja, membiarkannya bebas. Ada Fahri yang siap mendengarkanku, tapi kenapa hanya Langit yang aku takutkan?

Ponselku bergetar di atas meja bersamaan dengan munculnya notifikasi pesan dari Langit.

Langit : gue di rumah sodara tau

Langit : laper

Rani : makan lah, tapi sama sih

Langit : gue lagi mau bakso

Langit : makan bakso yuk

Aku terdiam dan detik selanjutnya melotot tidak percaya melihat pesan yang dikirimkan Langit, jantungku langsung berdegup cepat dan mulai bermunculan kupu-kupu di perutku. Sensasinya menggelikan hingga aku mengembangkan senyum.

Rani : maunya nasgor

Baru saja aku mengirimnya tapi justru takut Langit tidak jadi mengajakku keluar. Aku langsung gugup meski Langit belum membaca pesanku.

Langit : bakso aja, deket juga dari rumah lo

Langit : tp bayar sendiri ya, gue lagi gak ada uang

Rani : santai si, gua lagi megang duit

Rani : emang mau kapan?

Langit : ya sekarang

Langit : lo siap-siap, gue otw sekarang

Bergegas aku ke kamar, mencari celana training dan mengganti kaosku, tidak lupa mengambil beberapa lembar uang dari dompet. Kedua kalinya aku keluar bersamanya, meski kali ini hanya di dekat rumahku tapi tetap ada rasa gugup.

Rani : iya gue jalan ke sana

Aku berjalan dengan santai dan mengatur napasku agar tidak terlihat gugup di depannya, dipikir-pikir meski hubunganku dengan Langit bisa dibilang dekat namun aku dan Langit jarang sekali berkomunikasi langsung berdua. Lebih tepatnya mulai intensif saat naik ke kelas IX. Aku menahan napas saat melihat Langit sudah sampai di depan warung bakso dan duduk di atas motornya sambil melihat ponselnya.

"Lang," panggilku yang langsung disambut tatapan dingin, dia beranjak dari motornya dan duduk di kursi yang disusul denganku.

"Lo mau pesen apa?" tanya Langit sambil melihat lembaran daftar menu yang dilaminating namun ujungnya mulai mengelupas.

"Gue mie ayam aja deh tapi pake bakso."

Dalam hatiku sebenarnya agak menggerutu karena aku sedang ingin nasi goreng bukan semangkuk bakso, tapi karena dia yang mengajak, tak apa. Setelah memesan dia kembali duduk dan bermain ponsel, benar-benar belum ada tanda-tanda percakapan antara aku dan Langit.

Langit dan Hujan [sudah terbit]Where stories live. Discover now