19. Pacar Idaman

926 81 1
                                    

Hari ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya, dengan kantuk yang menghampiri aku menaiki satu per satu anak tangga. Tak jauh di depanku ada Aldo yang juga baru datang. Dengan cepat aku langsung naik menghampiri Aldo.

"Aldo!" panggilku.

Langkahnya terhenti dan menengok ke sumber suara, yaitu aku. Tapi setelah itu ia melanjutkan langkahnya meninggalkan. Aku mendengus kesal dan menambah kecepatan langkahku.

"Lo ngapa cepet amat sih, Do," kataku dengan napas yang memburu.

"Abisan lo lama."

Kalau dari dekat ternyata wajahnya memang manis, sangat manis. Tidak membosankan meski dilihat lama sekalipun. Tubuhnya tinggi semampai, aku hanya sekuping dari tubuhnya. Pas! Untuk dijadikan pacar, tidak deh, aku hanya becanda. Tapi aku memang ingin memiliki pacar yang tingginya lebih dariku, kelihatannya lucu saja. Apalagi saat dia menggandeng tanganku, astaga, itu menggemaskan!

Kakiku melangkahbmasuk ke dalam kelas, baru beberapa anak yang sudah datang. Sepertinya aku memang terlalu pagi hari ini, Aldo masih di depan kelas. Belum menaruh tasnya dan hanya berdiri di balkon memandangi lapangan. Aku memutuskan untuk menghampirinya.

"Tumben dateng pagi," selorohku.

Aldo hanya melirikku sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya ke lapangan.

Tak ada pembicaraan antara aku dan Aldo, aku tak berani memulainya. Takut tidak diacuhkan lagi. Aku dan Aldo sebenarnya tidak begitu dekat, ia lebih dekat dengan Hana dan Lala. Mereka juga tahu kalau aku tertarik pada Aldo.

"Dia emang manis tau, banyak yang suka," ucap Hana.

"Shila aja pernah jadi mantannya," timpal Lala.

Aku tidak ada apa-apanya memang, ingin punya pacar idaman tapi aku saja tidak memiliki kelebihan yang membuat lelaki tertarik padaku. Ah, sudahlah.

Aku melihat Hana yang baru saja datang dan menghampiriku.

"Ran, temenin ke kelas Ian dong."

"Mau ngapain?"

"Gatau, gue dipanggil Rara. Tapi gue taroh tas dulu."

"Yaudah."

Aku dan Hana langsung ke kelas Rara yang juga sekelas dengan Ian. Aku tidak tahu ada urusan apa Hana dan Rara sampai pagi-pagi begini aku harus berjalan menuruni anak tangga dan menghampirinya.

Aku lirik Langit sudah datang, ia tengah bercanda gurau bersama temannya. Aku menatapnya dan ia melihatku. Dengan cepat aku memalingkan wajahku lalu berjalan ke balkon. Bagaimana ini? Aku takut dia datang menghampiriku. Dan benar saja! Ia tiba-tiba muncul di sebelahku.

"Gimana?" tanyanya.

Aku mengernyit bingung, "apanya?"

"Masalah lo, udah kelar?"

Aku menggeleng pelan, menatap ke arah bawah yaitu taman sekolah.

"Mending lo bilang deh sama abang lo, jangan suka pendem sendiri."

Ucapannya seperti menjiplak ucapan Fahri, aku masih diam saja. Bingung harus menjawab apa.

"Eh Lang."

Ia hanya menatapku.

"Gue pengen punya pacar deh," ucapku sambil menunjukkan senyumku untuk mengalihkan pembicaraan sebelumnya.

Langit terperangah, menatapku dengan tatapan aneh dan belum mengeluarkan tanggapan dari celotehanku.

"Kenapa tiba-tiba?" kata Langit.

"Ya, gak apa-apa. Kan lucu gitu gue punya pacar. Kaya lo sama kak Nesya."

"Dih kocak."

"Gue mau punya pacar tinggi, biar kalo mau meluk enak," ucapku sambil terkekeh dan membayangkan jika aku benar-benar memiliki pacar yang lebih tinggi dariku. Astaga, pasti menggemaskan!

"Yaudah, gue tinggi."

Sontak aku menatapnya, perlahan pipiku memerah dan sepertinya dia tidak menyadari akan hal itu.

"Terus lo pendek," lanjutnya sambil tertawa.

Pipiku yang merah langsung sirna dan langsung cemberut.

"Gue serius, Lang."

"Lah, gue juga serius. Lo kan emang pendek, Ran."

Perkataan yang keluar dari mulutnya membuat aku ingin sekali memukulnya.

"Rani!" panggil Hana. "Ayo ke atas, udah mau masuk."

Aku mengangguk, "yaudah bye Langit," aku melambaikan tangan pada Langit yang hanya mendapat tatapan datar darinya.

"Bilang makasih sama gue, Ran. Gara-gara gue lo bisa berduaan sama Ian," ucap Hana dengan nada menyombongkan diri.

"Iye makasih dah ya."

"Sayang ya dia pacar orang, Ran."

Aku mengangguk setuju, eh, mencerna kembali kalimat itu membuatku memukul pelan lengan Hana.

"Ngaco lo."

Hana tertawa melihatku, tapi benar juga sih. Langit masih memiliki hubungan dengan kak Nesya. Sedangkan aku, ah, itu tidak usah dibahas. Menyakitkan sekali rasanya, karena aku hanya temannya atau dalam artian aku hanya tokoh pendukung dan bukan tokoh yang bersandingan dengan tokoh utama. Miris sekali.

***

Langit dan Hujan [sudah terbit]Where stories live. Discover now