28. Berbalik

610 42 1
                                    

"Makanya kalo mau kerjain tugas tuh bawa alatnya yang lengkap," omelku melihat tugas Langit yang kekurangan alat.

"Gak ada duit."

"Ya minta gitu ke temen, ada usahanya dikit gitu."

Langit tidak lagi menjawab omelanku. Siapa suruh dia tidak membawa alat-alatnya, setidaknya bicara padaku kalau alat yang dia punya masih kurang. Saat aku menoleh ke arahnya, ternyata dia sudah beranjak entah kemana. Aku mendengus dan kembali melanjutkan tugas milik Langit.

"Kalau gak ikhlas gak usah deh," ucap Langit sambil melirik ke arahku.

"Bener ya?"

"Tinggal panggil Nadia sih, sekalian modus."

Aku memutar bola mataku, bisa-bisanya dia bicara seperti itu di depanku. Rasanya ingin aku lempar saja semua tugasnya lalu pergi meninggalkan orang ini. Tapi salah satu alasanku ada di sini karena aku ingin didekatnya, jadi aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Laper, Ran," gerutu Langit.

"Makan, nanti mati semuanya repot."

"Nih, kerjain dulu ya. Gue mau beli roti bakar di depan." Langit menyerahkan semua tugasnya kepadaku.

Bodohnya aku hanya bergeming sampai Langit melangkah menjauh dariku. Bisa-bisanya dia seperti itu padaku, padahal kalau aku lihat-lihat perlakuan dia kepada Nadia dan perempuan-perempuan sebelumnya tidak pernah begini. Aku melihat ke sekeliling, teman-temanku yang lain masih sibuk membantu tugas temannya yang belum selesai. Sedangkan aku justru mengerjakan milik Langit.

Tanpa aku sadari, awan mendung sudah sedari tadi berkumpul dan turun rintik hujan. Tidak deras tapi berhasil membuat suasana aula menjadi dingin karena berhadapan langsung dengan lapangan. Hingga hujan turun pun aku belum melihat Langit kembali, tugasnya sengaja aku letakkan dan aku duduk di tepi lapangan untuk melihat hujan.

"Rani, ngapain di situ? Dingin nanti lo masuk angin," suara Bella dari belakang.

"Mau mandi hujan kali," timpal Fahri.

"Iya, yuk mandi hujan," ajakku ke yang lain.

"Ayo." Rara mulai membuka tali sepatunya.

"Gas terus lah," kata Zaza berjalan ke arahku.

"Ran, udah kelar?" suara Langit menjadi pusat perhatian teman-temanku.

"Belum, kan gak harus besok. Iya kan?"

"Nggak sih."

Aku sudah ancang-ancang untuk segera menerobos hujan, tapi tanpa sengaja aku melihat Langit dan Shila yang berbincang tidak jauh di sebelahku.

"Kenapa?" tanya Langit ke arahku dan membuat Shila juga ikut menengok.

"Nggak, gue lagi liatin sepatu," jawabku asal.

"Ian, mau dong rotinya," rengek Shila, padahal yang aku tahu Shila sudah memiliki pacar, belum lama sih tapi nada bicaranya membuatku panas.

"Nih." Langit menyodorkan potongan roti bakar terakhir ke arah mulut Shila.

Aku langsung berlalu menerobos hujan  untuk menghampiri Rara dan Zaza yang sudah duluan. Namun rasa penasaranku benar-benar tidak bisa dinegosiasi, rasanya ingin menengok ke arah Langit dan mengetahui kelanjutan tadi.

"Gue tau lo panas liatnya, Ran." Rara menengadah ke atas membiarkan hujan membasahi wajahnya.

Aku hanya tertawa tanpa suara, menertawakan diriku sendiri yang bisa-bisanya menyembunyikan perasaanku sedemikian rupa karena aku belum siap untuk hal yang terjadi selanjutnya atau bahkan tidak pernah siap.

Langit dan Hujan [sudah terbit]Where stories live. Discover now