12. Kembali dengan Perlahan

1.1K 100 3
                                    

Sudah hampir dua minggu Langit tak membalas pesanku, aku juga kini sulit untuk menemukannya saat istirahat atau pulang sekolah. Sepertinya ia sengaja bersembunyi dariku atau semesta yang menyembunyikan, aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku sudah mulai merasa sedikit kehilangan, hanya sedikit. Aku pikir akan baik-baik saja, tapi seperti ada yang berbeda. Aku tak juga bosan untuk mengiriminya pesan, setidaknya aku tahu apa alasan dia menjauhiku.

Rani : Lang

Rani : mau sampe kapan kita gini terus

Rani : gue gak tau salah gue apa

Aku letakkan kembali ponselku, membiarkan udara masuk ke rongga hidungku lalu kembali keluar. Sama halnya perihal datang dan pergi, semuanya bisa datang dan kembali berlalu, tidak menetap. Tak lama ponselku bergetar.

Langit : hm

Langit membalas pesanku, astaga, dia sudah kembali membalas pesanku. Apa ini pertanda baik atau justru untuk salam perpisahan? Aku tidak tahu, tapi yang jelas aku sudah senang karena dia sudah membalasnya. Aku bernapas lega, ini sangat melegakan.

Rani : kemana aja sih lo?

Langit : ngga

Aku mengernyit, menatap bingung ke arah ponsel. Jawaban macam apa ini?

Rani : kemaren gue dianter Aldo dongg

Langit : oh gitu

Aku mulai sedikit geram dengan jawaban Langit, tapi apa yang harus aku lakukan. Harus dengan cara apa melelehkan esnya. Baru kali ini aku kenal dengan lelaki yang lebih dingin dari kakakku sendiri. Tapi jujur saja sejak sekolah dasar aku tidak begitu dekat dengan teman-teman perempuan, tidak begitu banyak. Lebih banyak lelaki, karena menurutku mereka bisa memberi saran yang lebih tepat, itu saja.

Kembali dengan Langit, aku senang dia sudah kembali meski beberapa kemungkinan muncul di pikiranku. Dia bisa saja pergi, semesta bisa melakukan apa saja, termasuk menjauhkan yang sudah dekat. Dan aku harap dengan jauhnya Langit denganku kemarin adalah sebuah pertanda baik bagi kelanjutannya nanti.

Rani : kapan lomba paskib lagi?

Langit : gatau

Segera aku menghubungi Bella, aku ingin tahu bagaimana pendapatnya. Kalau mengirim pesan akan mengulur waktu, jadi aku putuskan untuk menelponnya.

"Halo, Bell."

"Kenapa, Ran?" Suaranya seperti baru saja bangun tidur.

"Lo baru bangun ya?" tanyaku.

"Iya anjir, ada apaan emang?"

"Langit bales chat gue," ucapku dengan histeris. Lalu tiba-tiba saja hening, aku takut Bella ternyata hanya mengigau.

"Wah, gila, apaan kata dia?"

"Ya, cuma bales biasa gitu. Dingin banget pokoknya," jelasku.

"Lo ada salah kali," kata Bella dan selanjutnya dia menguap.

"Gak tau."

"Ah, udah dah, lanjut di sekolah aja. Gue pikir genting."

"Ih, yaudah maaf, bye Bella." Aku menutup sambungan telepon dengan Bella.

Pikiranku kembali mengarah kepada Langit, mungkin benar kata Bella. Tapi bagaimana menanyakannya, aku takut saat bertanya padanya nanti justru aku yang kena semprot. Mungkin nanti saja, yang penting kini dia sudah kembali meski dengan langkah yang begitu perlahan.

Tak apa, akan aku tunggu.

***

Meski sudah beberapa hari aku dan Langit kembali bertukar pesan, aku masih saja belum berani untuk menyapanya. Aku takut dengan berbagai kemungkinan yang muncul dalam otakku seperti aku hanya pengganggunya selama ini dan alasan itu yang membuatnya menjauh. Aku memang agak pengecut jika bertemu, tidak salah kalau ibuku sendiri suka mengejekku karena penakut, pengecut atau semacamnya terlebih dengan kecoa. Aku benci satu makhluk itu.

Sepertinya aku sudah mulai melantur, tapi aku benar-benar bingung. Aku harus apa? Diam atau mengejar untuk mencari tahu penyebab sikapnya.

Rani : gue capek bgt deh

Rani : tabus banyak tugas

Langit : bukan lo doang

Rani : ya kan gua hanya berkeluh kesah

Langit : bahasa lo ketinggian

Langit : bantuin gue tabus ya

Aku melotot kaget, ini sebuah kesempatan dan harus dimanfaatkan.

Rani : ada bayaran

Langit : elah nanti, dikerjain aja belom

Sebenarnya guru tata busana kelasku dan kelasnya berbeda, tapi kan masih satu materi. Bisalah menyelam sambil minum air, kesempatan tidak datang dua kali. Katanya sih begitu.

Besoknya setelah pulang sekolah, tugas tata busana memang seluruh kelas VIII dikerjakan dan dikumpulkan pada hari yang sama meski di guru yang berbeda. Jadilah seluruh kelas VIII harus rela pulang lebih lambat untuk mengerjakannya bersama-sama di sekolah.

Pendopo sekolah terisi penuh dengan kain, gunting, jarum dan alat tata busana lainnya. Hingga anak lelaki yang biasanya sudah pulang meski bel baru saja berbunyi saja rela pulang sore untuk meminta bantuan dari para siswi. Maklum saja lelaki tidak begitu pandai menjahit.

Aku menunggu Langit yang belum juga turun, padahal sudah hampir setengah jam yang lalu kelasnya selesai. Temanku yang satu kelas dengannya saja sudah di bawah dan mulai mengerjakan. Karena aku sudah lumayan lama menunggu, aku putuskan mengajak Bella untuk pulang.

"Bell, balik yuk," ajakku.

"Lah, kan Ian minta tolong sama lo," ucap Bella.

"Lama, gak tau kemana dia. Pulang aja yuk."

"Yaudah ayo."

Saat aku sampai di rumah, seperti biasa aku mengambil ponsel di kamar dan menyalakannya. Tiba-tiba tak lama aku membuka aplikasi line, Langit mengirim pesan.

Langit : lu kemana gue tungguin

Rani : lah lu yg ngilang

Langit : ah gimana sih

Rani : yaudah besok aja sih, lagian lama

Langit : td ngumpul paskib dulu

Tanpa sadar senyumku mengembang, aku mulai merasa Langit yang aku kenal sudah kembali.

***

Aku minta maaf, udah kmrn gak update sekalinya update pendek:(

Btw Ian itu Langit ya kalo ada yg ga ngerti, soalnya kdg aku gak ngerti sama tulisan yang aku buat sendiri.

Yg penting aku sayang kalian!

Salam hangat,
Rain.

Langit dan Hujan [sudah terbit]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant