13. Pertolongan

1.1K 86 4
                                    

Aku duduk di depan televisi untuk menonton kartun favoritku. Ponsel yang tidak jauh dariku bergetar, dengan mata yang masih melekat ke arah televisi aku meraba dan mengambil ponselku, ternyata dari Langit.

Langit : besok inget, bantuin gue tabus

Rani : yaelah iya

Langit : jangan kabur

Rani : lah gua ga kabur, lu aja yg ngilang

Dasar tidak mau mengalah, jelas-jelas tadi dia yang tidak ada. Kan, aku malas jika harus mencari apalagi kalau dia ada di tempat paskib berkumpul. Menyebalkan, bukan?

Langit : ya intinya jgn lupa

Rani : iya elah

Setelah acara kartun itu selesai, biasanya Reno datang dan mengganti ke siaran yang dia suka. Kalau tidak film laga, ya, tentang otomotif. Sejak kecil aku memang tidak dibiasakan tidur terlalu larut, jadi kebiasaan itu masih berkepanjangan hingga sekarang. Padahal bertukar pesan dengan Langit sangat menyenangkan, tapi karena sudah mengantuk aku lebih mengutamakan tidur. Karena tidur dan makan adalah hal yang harus diutamakan.

Langit : woi nyet

Langit : udh tdr ya lu

Langit : gua gabisa tidur

Langit : besok inget

Langit : bantuin gua tabus

Langit : nnt gua bayar

Langit : pake good day yang di koperasi

***

Dengan langkah lesu aku berjalan ke sekolah, pagi ini lebih dingin dibanding biasanya. Matahari enggan memunculkan dirinya, coba aku bisa jadi matahari, sayangnya aku Hujan. Kelas paling atas memang tidak enak, sudah paling pojok dan sulit terjamah dengan teman-temanku juga dengan guru-guru. Ada baiknya sih, karena dengan itu kelasku lebih bebas dari kelas lainnya. Langkah kakiku satu per satu menaiki anak tangga, kakiku rasanya mau lepas. Maklum aku belum terbiasa dengan kelas di lantai atas.

"Eh, Ran, kebetulan," ucap Hana yang baru saja keluar dari kelasnya.

"Apaan?"

"Temenin gue ke bawah."

"Ngapain anjir, gue belom naroh tas," kataku sambil menggeleng keras. Ini sedikit pemaksaan.

"Mau ke kelas si Rara."

Kelas Rara artinya kelas Langit juga, aku sontak menggeleng keras. Masa iya aku ke kelasnya.

"Ih ogah, sendiri aja sana," ucapku dan langsung saja aku masuk ke kelas meninggalkan Hana. Hana tidak tinggal diam, setelah melihat aku menaruh tasnya dia menarikku.

"Ngapain, Han?"

"Temenin, bentar doang," ucapnya.

Aduh, perutku langsung saja mulas. Bukan masih lapar atau ingin buang air besar, tapi pemaksaan yang dilakukan Hana. Aku tahu Langit pasti sudah datang, rumahnya yang jauh membuatnya datang lebih pagi. Pernah aku melihatnya datang pagi sekali, dengan wajah masih mengantuk ia turun dari motor dan berjalan dengan malas yang sesekali mengusap matanya. Itu sangat menggemaskan. Ah, tapi, bagaimana ini? Langkahku semakin dekat dengan kelasnya, menyebalkan.

"Rara!" panggil Hana dan melepaskan tangannya yang sedari tadi menarikku.

Rara menengok dan menghampiri aku dan Hana. "Mau ambil alat tabus?" tanya Rara.

"Iya, lo bawa gak? Gue ada pelajarannya hari ini," ucap Hana.

"Oh yaudah bentar ya." Rara kembali masuk ke dalam kelasnya. Aku sedikit melirik ke arah kelas Rara, dan berhasil! Aku melihat Langit yang tengah bercanda dengan temannya. Tak lama Rara keluar dan membawa sebuah pouch berisi alat menjahit.

"Muka lu ngapa gitu," ucap Hana yang melihat wajahku sedikit tegang. "Gara-gara Ian ya?"

Aku memutar bola mataku, tapi padahal kalau semakin aku pungkiri akan semakin kelihatan.

"Kaga, lah."

Kalau diingat lagi, semalam Langit mengirim banyak pesan. Sampai-sampai dia mengirim lirik lagu, seolah-olah sedang bernyanyi padahal itu hanya dia yang mengetik. Dia beberapa kali memang suka mengirim pesan saat tengah malam, padahal dia tahu kalau aku jarang sekali tidur larut.

Hari-hariku dengan adanya Langit mengubah sedikit jalan cerita hidupku, lebih berwarna dan membuatku penasaran. Akan ada apa hari esok? Meski dulu menjalani satu hari saja aku sudah merasa berat. Anggap saja aku dan Langit sudah mulai bersahabat dan seterusnya akan begitu.

"Teman yang baik itu gak akan ninggalin temannya," ucapnya saat aku sedang bercerita bahwa aku sedikit kurang nyaman dengan pertemanan di lingkungan baruku.

Aku harap dia adalah teman yang baik dan sebuah takdir baik yang semesta beri untukku.

Sepulang sekolah aku duduk di aula yang mulai ramai karena mereka mulai mengerjakan tugas tabusnya. Aku belum melihat batang hidung Langit, kemana lagi anak ini?

"Woi, nyet," panggil seseorang dari arah belakang, sebenarnya tidak merasa terpanggil tapi gerakan menengok itu reflek. Ternyata Langit.

"Nih alat sama bahannya." Dia memberi satu kantung plastik hitam berisi bahan yang sudah ada pola dan alat menjahit.

"Gue ngebantuin bukan ngerjain," ucapku.

"Yailah, bentar doang."

"Bodo, gue kasih tau caranya doang."

"Yaudah iya, tapi nanti yang gak gue bisa, kasih ke lu aja ya."

Aku mengangguk, mengeluarkan bahan yang sudah lecek. "Lu apain bahannya, dah?"

Dia hanya menengok dan tak menjawab. Menyebalkan.

"Nih ya, dengerin, ini gunting ikutin kampuhnya. Terus nanti dijahit mulai dari sini," kataku menunjuk bagian-bagian bahan.

Aku meliriknya, dia menyimak perkataanku tapi aku tidak tahu dia mengerti atau tidak.

***

Langit dan Hujan [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang