Kulihat dia mulai tergerak bangun, gerak-geriknya sangat kuperhatikan. Saat dia duduk, aku tidak mendapati gestur kesakitan atau memekik seperti macam orang yang patah tulang setelah jatuh dari ketinggian dengan pesawat. Ekspresinya datar. Datar sekali, malah. Untuk ukuran manusia normal yang baru saja ditimpa bencana tragis, orang ini berada di daftar terkuat.

Dia memerhatikan wajahku, sementara alisku menekuk sempurna. "Apa yang kau lihat?"

Namun, reaksinya malah membuatku sedikit gelisah dan cemas. Ia malah meringkuk menekuk lututnya seperti seekor anak kucing yang ketakutan. Dia semakin mundur. Seakan-akan aku ini adalah ancaman untuknya.

"Eh? Ke-kenapa?" tanyaku ragu. Aku malah semakin penasaran. "Eh ... Hallo? Ma-maaf ...."

Aku berjongkok di dekatnya. Kupikir, dia, yang mungkin setinggi kakak kelasku ini, memang terlihat seperti mengidap penyakit gangguan mental. Sungguh.

Aku mengulurkan tangan kanan, bermaksud mengajak berkenalan. "Oke, oke. Siapa kau ini? Maksudku, kenapa kau bisa terbang dengan pesawat itu lalu datang kemari? Hei, itu keren! Kenapa kau bisa melakukan itu? Itu sangat di luar nalar! Itu sangat keren dan kau tahu?! Kau keren banget!" cerocosku berbondong-bondong. Alih-alih menerima uluran tanganku, remaja ini malah semakin meringkuk ketakutan, dia menenggelamkan wajahnya dengan ringkukkan tangan.

Menatapnya membuatku semakin gelisah saja. Aku belum bisa mencerna situasi ini 100%. Kalau seperti film kartun, di atas kepalaku macam ada bar loading. 0% ... 20% ... 50%. Failed. Coba lagi.

Aku bertanya ragu, "Kau siapa? Hallo? Bisa bicara, 'kan?"

"Nemo."

Apa kalian pernah mendengar dengungan nyamuk di dekat telinga? Nah, ketimbang berbicara, suara lelaki ini lebih mirip ke nyamuk yang tak mendengung sama sekali. Ritmenya sangat rendah.

"Nemo? Nelo? Melo? Hah?" Aku penasaran, semakin mendekati. "Bisa kau ulang?"

"Bisa-kau-ulang?"

Eh? Dia malah mengulang pertanyaanku.

"Oke. Ini benar-benar bo-doh, oke? Berhentilah bermain-main," geramku.

"Hmm, aku Anna oke? AN-NA. Sekarang, siapa namamu? NA-MA? NA-MA-MU?" tanyaku sembari menunjuk wajahnya. Kulapalkan suku kata secara seksama.

"Anna."

Tahan napas. Hembuskan perlahan. Jangan emosi.

Sepertinya aku ingin menangis saja. "Namaku AN-NA," terangku sambil menunjuk wajahku sendiri, lalu beralih ke wajahnya. Dengan jari telunjuk yang hampir menyentuh batang hidung pemuda ini. "NA-MA-MU?"

"Nama?"

"Iya, benar, namamu."

"Iya. Benar. Namamu."

"STOP!" Aku benar-benar frustasi dengan makhluk yang satu ini.

Dia tersentak kaget dan tahu-tahu merangkak gesit, memelukku erat. Persis seperti anak kucing yang takut kehilangan induknya. Dan lagi-lagi membuatku ingin menangis sungguhan kali ini. "MAMA! PAPA! TO—LONG!"

"Gila?"

"Hei, Dugong, lepaskan pelukanmu!Aku tidak bisa bernapas!" Kucengkram kuat tangannya guna melepaskan pelukan, tetapi sia-sia belaka.

Terbesit satu hal di otakku yang menurutku paling masuk akal saat ini. Ia remaja sekiranya beberapa tahun di atasku, hanya saja dia polos, polos sekali, malah. Dan dapat kuambil dua kesimpulan: 1) ia mengulang kata-kataku, seperti mendapat kosakata baru di dalam batok kepalanya. 2) polosnya sama seperti balita yang masih pup sembarang tempat.

Aku menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Layaknya mengasuh anak kecil, jika kita tenang dan lemah lembut, ia mau menurut 'kan?

"Hei, sebentar-sebentar, oke? Aku mau bicara padamu, tapi lepaskan dulu pelukanmu ini—dan perlahan—dan ya, seperti itu, bagus!" Aku berhasil melepaskan pelukan eratnya yang sepertinya membuat organ tubuhku di dalam sana hancur lebur. Setelah ini jika dia berani memeluku lagi, akan kupastikan telapak kakiku membuat bekas wajahnya.

"Pertama, sebutkan dulu namamu siapa agar aku bisa memanggilmu dengan nama itu, mengerti, 'kan? Orang-orang memanggilmu dengan nama. Na-ma? N-A-M-A?" tanyaku sambil melapalan huruf terakhir penuh penekanan.

Ia terus memandangiku yang tengah mengoceh, setiap inchi gerak wajahku tak terlewatkan untuk ditatapnya. Dia hanya melongo seperti anak kecil yang tak paham maksud dari perkataanmu, sampai mulut berbusa sekali pun. Hingga dia bergumam, "Nemo." Dan aku lagi-lagi nyaris tidak bisa mendengarnya.

"Nemo? Finding Nemo? Marlin?"

Dia melongo. Lalu mulutnya setengah terbuka, karena kuyakin ia akan mengulang kalimatku, maka kupotong cepat-cepat, "Neo?"

"Neo," paparnya.

"Oke, Neo. Sekarang, di mana kau berasal? Asalmu? Rumahmu? Tempat tinggalmu? Tempat lahirmu? Tempatmu berada sebelumnya?"

"Me-Metropica."

"HAH?!" Aku tersentak.

Metropica? Di mana itu? Aku belum pernah mendengarnya. Itu seperti kata-kata ilmiah atau apa? Di mana?

"Ah, oke-oke. Ini benar-benar GILA dan tidak MASUK AKAL. Aku akan membawamu pada Kakek Loy. Berdo'a-lah agar kaki Kakek Loy tidak bersarang pada bokongmu setelah ini! Mari ikuti aku, Marlin."

"Neo," diktenya.

"Ah iya, terserahmu, Alien."

#1 The Prophecy: a different world Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang