***

Setelah bicara dengan Shifa, aku kembali untuk menemani anak-anak lagi. Selagi anak-anak lainnya bermain, lagi-lagi Oca hanya diam. Matanya nampak memperhatikan sekeliling, sama sekali tak terlihat ada ketertarikan dalam pandangannya. Waktu pertama kali Oca datang ke sini juga ia seperti itu. Awalnya kupikir mungkin ia masih masa penyesuaian tapi setelah banyak hal yang terjadi pada Oca di depanku, kurasa ini bukan lagi soal penyesuaian diri.

Aku menghampirinya lalu membungkukkan tubuhku untuk mengulurkan tanganku ke hadapannya. "Ikut Miss, yuk?" ajakku.

Oca menatapku cukup lama sebelum akhirnya tangannya mau menyambut uluran tanganku. Aku pun membawanya keluar dari ruang bermain dan pindah ke ruang belajar. Ruang belajar di daycare ini bukanlah ruang belajar yang hanya dipenuhi buku-buku ya. Di sini terdapat mainan juga, tapi mainan di sini memang yang lebih mengasah kemampuan kognitif. Seperti misalnya puzzle, monopoli, rubik, dan lainnya yang umumnya membutuhkan ketenangan dan kemampuan berpikir atau menyusun strategi saat memainkannya.

Aku mengajak Oca melihat beberapa mainan di dalam rak. "Ada yang Oca mau coba?" tanyaku.

Gadis kecil itu nampak memperhatikan beberapa mainan yang tersusun di rak. Ia tidak menjawab pertanyaanku sama sekali, tapi melihatnya yang menatap cukup lama pada puzzle bergambar Cinderella bersama ibu peri dibanding dengan mainan lainnya. Kurasa Oca tertarik pada puzzle itu.

Aku kemudian mengambil puzzle itu dan puzzle bergambar lainnya. Puzzle Cinderella kuberikan pada Oca sedangkan puzzle lainnya aku pegang. Aku kemudian mengajaknya duduk bersama di depan meja makan lesehan yang kami alih fungsikan menjadi meja belajar anak-anak.

"Ini namanya puzzle. Cara mainnya kita lepasin dulu semua kepingan puzzlenya dari dalam bingkainya," kataku seraya membalikkan puzzle milikku hingga semua kepingannya terlepas di atas meja dan mengacaknya sedikit. "Lalu kita susun lagi supaya jadi bentuk semula." Aku mengambil sebuah kepingan lalu meletakkannya di paling ujung.

Oca memperhatikan puzzle milikku yang sudah berantakan lalu menatap miliknya yang masih utuh.

"Kenapa, Sayang? Ada yang Oca bingung?" tanyaku saat gadis kecil itu belum juga menyentuh puzzlenya.

"Kenapa dilepas kalau buat disusun kayak semula lagi? Bukannya sia-sia?" tanyanya.

Aku tersenyum karena sudah menduga ia akan menanyakan itu. Dari beberapa pertanyaan sederhana yang ia tanyakan sebelum-sebelumnya, aku rasa Oca sebenarnya adalah anak yang kritis hanya saja ia kurang percaya diri. Oca tidak selalu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya pada setiap lawan bicaranya. Anak-anak biasanya bersikap sesuka mereka, tapi Oca justru begitu berhati-hati terhadap sikap dan perkataannya. Selain itu juga kata-kata yang Oca gunakan tidaklah seperti anak lain kebanyakan, misalnya kata 'gak pantas' dan 'sia-sia' yang Oca katakan. Aku hampir belum pernah mendengar itu terucap dari anak lainnya yang seusia dengan Oca. Mereka biasanya menggunakan kata yang lebih sederhana. Jadi, dari sikap dan kata-katanya aku pikir Oca ini adalah anak yang 'terlatih'.

"Cara main puzzle memang begitu, Sayang. Ini untuk melatih ingatan, konsentrasi, juga kesabaran. Emm, Oca tahu apa itu konsentrasi?"

Gadis kecil itu tidak menggeleng atau mengangguk. "Fokus?" tanyanya balik dan aku mengiyakan. See? Oca memahami kata-kata yang bisa dibilang cukup 'rumit' untuk anak-anak.

"Kok bisa main ini melatih semua itu?" tanyanya lagi.

Aku tersenyum lalu memintanya melihat kepingan puzzleku yang berantakan. "Oca ingat gak tadi punya Miss gambar apa?" tanyaku.

"Hmm... cewek?" ujarnya tak yakin.

"Rambutnya? Bajunya?" tanyaku lagi dan kali ini Oca hanya terdiam. Sepertinya ia tak punya jawabannya.

"Puzzle punya Miss ini gambar cewek, rambutnya sebahu dan bajunya warna ungu. Sebelumnya tadi Miss udah perhatikan gambarnya, nah dari ingatan Miss itu sekarang Miss harus konsentrasi menyusun setiap kepingan ini supaya membentuk gambar utuh yang ada di ingatan Miss tadi. Untuk menyusun itu semua Miss harus sabar karena kepingan ini kan ada banyak, bentuk dan warnanya ada yang mirip tapi penempatannya beda. Sampai situ Oca paham?"

Oca bergeming menatapku sebelum kemudian ia menganggukkan kepalanya. Jemari mungilnya akhirnya menyentuh puzzle miliknya, menatapnya sesaat sebelum kemudian melepas semua kepingannya dan menyusunnya ulang.

Aku mungkin tak bisa mengubah persepsi 'main itu bodoh' yang mamanya Oca telah tanamkan pada Oca, tapi aku memberinya persepsi baru bahwa 'ada beberapa permainan yang bermanfaat' dengan harapan persepsi yang pernah terbentuk sebelumnya itu dapat ternetralisir. Semoga saja....

***

Kepingan DirhamWhere stories live. Discover now