"Ayo, udah cepetan. Diomelin Bu Isah lu. Dihukum nyanyi tembang macapat mau lu?"

Aku menghembuskan napas, dan bangkit perlahan. Kami lalu berjalan beriringan menuju perpustakaan dua lantai yang engga jauh dari kelasku. Perpustakaan yang jarang dikunjungi untuk tujuan membaca, karena lebih sering dikunjungi untuk menjadi tempat tidur atau sekadar mendinginkan badan. AC di perpus memang enak banget. Belum hawanya yang sepi bikin ngantuk.

"Pak Mahdin, mau pinjam majalah bahasa Jawa dong," ujar Joan sambil mendekati Pak Mahdin yang sedang menghadap komputer.

"Isi dulu daftar kunjungannya."

Joan lalu mengisi daftar kunjungan yang berisi nama, kelas, tanggal, dan tanda tangan. "Udah, Paaaak."

"Cari aja di lantai satu, loker 5 baris 4."

"Tingkat berapa, Pak?"

"Dua kalau engga tiga. Cek aja."

Seperti yang kubilang sebelumnya. Perpustakaan terdiri dari lantai dua. Lantai satunya terisi dengan rak-rak buku yang menjulang tinggi... jumlahnya ada delapan baris. Tersusun di tengah-tengah ruangan, dikelilingi kursi dan meja untuk duduk dan membaca di pinggirnya. Nah, setiap rak itu ada sekitar sepuluh loker dan tujuh tingkatan. Sudah dinomori kok. Jadi engga akan bingung.

Kalau lantai dua itu... ada gudang untuk menyimpan buku-buku yang sudah lawas atau tidak terpakai. Ada juga rak-rak seperti di lantai satu, hanya jumlahnya yang sedikit, dan tentu... kursi meja untuk duduk. Nah, kalau kamu suka membaca novel fiksi atau apapun yang sejenis itu, naiklah ke lantai dua karena di sana lebih banyak buku-buku seperti itu. Lengkap. Dari komik, harlequin, sastra, atau novel-novel remaja. Lantai satu, sih, isinya membosankan. Cuma buku-buku pelajaran.

"Satu, dua, tiga... sepuluh... sembilan belas."

"Kok sembilan belas doang?" Tanyaku pada Joan yang sedang menghitung jumlah majalah di tangannya.

"Di tingkat atasnya kali ya?" Gumam Joan. Setelah menyerahkan tumpukan majalah itu padaku, Joan naik ke tangga berjalan yang disediakan. Melihat-lihat, tapi engga menemukannya. Dia lalu turun. Aku menyerahkan majalah-majalah itu padanya lagi.

"Gue tanya Pak Mahdin deh," usulku dan berjalan ke meja Pak Mahdin.

"Pak. Majalahnya adanya cuma sembilan belas doang. Saya butuhnya tiga enam."

Pak Mahdin menurunkan kacamatanya. "Hm...," gumamnya mengingat-ingat, "Kalau engga salah, saya taruh gudang."

"Oke, Pak. Makasih."

Aku berjalan menghampiri Joan lagi yang sekarang sudah duduk.

"Di lantai atas. Gudang."

"Lu aja deh."

Aku menghembuskan napas. Berjalan ke arah tangga untuk naik. Meskipun enak untuk tidur karena sepi dan senyap, apalagi dengan AC yang dingin, engga menutupi fakta bahwa nuansa lantai dua berbeda dengan lantai satu. Bahkan para kutu buku yang ke perpus hanya karena 'isi lantai dua' lebih suka mengambil buku di sana, dan membacanya di lantai satu, karena... yaaah di lantai satu lebih ramai dibandingkan di sini.

Aku menelan ludah ketika melangkah melewati satu per satu rak buku untuk menuju gudang yang letaknya di ujung dan tidak mendapati satupun pengunjung. Bergidik ketika hawa dingin dari AC menerpa lenganku. Buru-buru melangkah ke arah gudang, dan membuka pintu hingga menghasilkan bunyi berderit itu.

BUM!!!

Aku tersentak kaget, dan langsung menoleh ke belakang ketika pintu yang kututup berbunyi keras.

Perasaan nutupnya pelan deh.

"Hm, mana ya," gumamku agar suasananya engga sepi-sepi anget.

to be young and in love [end]Where stories live. Discover now