18

14.6K 2.5K 207
                                    


Tiupan keras terus meluncur dari Azam sejak sepuluh menit tadi. Ia mengusap wajah dengan kasar, frustrasi tengah menghantam dirinya. Tidak hanya pekerjaan yang menuntut perhatian Azam, tetapi kelabilan Firli yang kembali minta pembatalan pernikahan mereka. Edan! Gadis itu benar-benar gila dan sangat pintar memainkan emosi Azam naik turun seperti rollercoaster.

Sampai saat ini baik dirinya, Bulek Rina, dan mamanya tidak tahu alasan Firli. Ia sempat minta Randu dan Ranti untuk mengorek informasi juga gagal. Lalu Azam minta tolong sama siapa?

Pertemuan mereka waktu itu juga tidak membuahkan hasil. Firli menangis terus waktu ia desak. Sekarang Azam harus bagaimana? pikirannya buntu seolah jalan pulang tertutup rapat dan karena hal ini kepalanya serasa pecah. Helaan napas dalam-dalam Azam ambil untuk meredakan emosi di dadanya. "Kamu itu kenapa, sih, Fir?" gumamnya sendiri seperti orang linglung. "Ngomong gitu kalo ada apa-apa jangan kayak gini. Mas jadi bingung juga," tambahnya sambil meremas rambutnya hingga kusut seperti gombal.

"Zam."

Pria 35 tahun itu menoleh ke sisi kanannya. Astri tersenyum dan membuat hatinya tenang. Ia menggeser bokongnya lalu merebahkan kepalanya di pangkuan Astri setelah mamanya duduk di sofa di sampingnya.

Tangan wanita yang tidak muda lagi itu menyugar surai tebal milik putranya. Matanya menatap lembut sisi wajah Azam dengan perasaan iba.
Ingin ia bertanya perasaan sulungnya ini, tapi takut menjadi beban pikiran Azam. Mungkin lebih baik ia diam sampai Azam bercerita sendiri.

Menikmati usapan penuh cinta dari mamanya cukup membantu meredam emosinya. Tangan hangat itu selalu ia sukai biarpun wanita yang melahirkannya sering membuat jengkel. Lama sekali rasanya Azam tak merasakan damai seperti saat ini.

"Aku nggak ngerti, Ma, apa yang bikin Firli kayak gini. Aneh gitu. Kemarin antusias tiba-tiba minta batal, kan aneh kalo nggak ada alasannya." Azam tetap dengan posisinya, tidur miring beralaskan pangkuan mamanya. "Ya biarpun dia kadang ngeselin, tapi nggak pernah lho kayak gini. Kesel aku. Lama-lama aku seret dia ke KUA."

Astri tersenyum lebar mendengar curahan hati Azam. Sebagai ibu, Astri senang karena putranya itu mau berbagi cerita dengannya, tidak seperti beberapa waktu lalu saat Azam masih berpasangan dengan Tita. Azam bukannya pendiam atau pemalu, hanya saja dia tak suka mengumbar soal percintaannya.

"Kamu bener-bener sayang, ya, sama Firli?" Astri tidak meragukan hanya ingin memastikan dan anggukan Azam sudah menjawabnya. "Sekarang gimana? Kan Firli minta batalin."

Azam terdiam, jujur saja ia juga tidak tahu sekarang harus bagaimana? Pikirannya buntu. Ia kemudian menarik kepalanya dari pangkuan Astri, duduk bersila menghadap mamanya. "Itu dia, Ma," sahut Azam lemah. "Mama ada saran nggak buatku?" tanya Azam.

Wanita yang saat ini memakai daster katun motif bunga-bunga itu termenung. Ia tengah berpikir untuk mencari cara agar masalah ini menemui titik terang. "Apa, ya, Zam, Mama juga bingung. Dadakan gitu lho, kayak tuyul gitu tetiba nongol. Semua jadi Mama pending dulu dan untungnya juga undangan belum disebar, jadi kita nggak riweh buat batalin. Bayangin kalo udah kesebar, aduh."

"Iya." Mereka sama-sama diam, menerka-nerka motif pembatalan pernikahan ini. "Ma, kok, aku ngerasa ada sesuatu yang bikin dia mundur, kalo nggak, nggak mungkin kan dia gini." Azam menyandarkan kepalanya di bahu Astri. Matanya menatap lurus ke pot-pot bunga berjejer rapi di rak yang menempel di tembok, tapi pikiran Azam melayang entah ke mana.

Ia pikir, mungkinkah mereka tidak berjodoh? Sebab ada saja halangan
untuk ke jenjang lebih serius. Apakah Tuhan masih belum merestui mereka? Jika iya, mengapa rasa ini tumbuh dengan cepat dan subur dalam hatinya? Mengapa hanya dengan Firli ia menjadi orang yang berbeda?

Tangan kanan Astri terangkat mengusap lembut wajah putranya. Kulitnya tersentuh langsung dengan cambang Azam yang baru tumbuh. "Mama jadi suudzon, apa jangan-jangan Tita...."

Suara Astri menyentak Azam dari termenungnya. Keningnya berkerut tak paham dengan ucapan mamanya. Ia menarik kepalanya, memberi jarak mereka, dan menatap bingung Astri. "Kok Tita? Apa hubungannya coba?"

"Ya kali aja mereka ketemu terus Tita ngomong yang nggak-nggak, gitu. Kan bisa, Zam."

Azam berdecak kecil mendengar teori Astri yang tidak masuk akal. "Nggak lah, Ma. Dia nggak sejahat itu," belanya. "Lagian kita bubar juga bukan karena Firli, kok," bantahnya sebab ia tahu betul penyebab karamnya hubungan mereka.

"Terus apa?"

Pria pemilik berat badan ideal itu menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan. Azam benar-benar frustrasi. "Mbuh, Ma, aku juga nggak tahu."

🌛🌜

Sepuluh hari sembilan belas jam tiga puluh menit—setelah pertemuan mereka di tempat kerjanya—Firli berhasil menghindari Azam. Jangan tanyakan bagaimana rasanya, sangat berat, terutama menghindari orang yang kita cinta, tapi jika tidak begitu, akan sukar meyakinkan mereka meskipun dirinya merasakan hampa.

Tidak itu saja, semangat, senyum, dan keceriaan Firli ikut menghilang. Rasanya tak ada yang bisa membuatnya bahagia hingga harus tersenyum, bahkan makanan yang disodorkan padanya tak mampu mengisi lubang besar di hatinya. Hah! Begini rasanya patah hati, siksaannya melebihi di-PHP gebetan.

Usapan sayang di kepala menarik Firli dari lamunannya. Ia menoleh, tersenyum, dan menggeser tubuhnya memberi ruang untuk Hamdan agar bisa duduk di sampingnya. "Pa," ucapnya pelan. Ia memeluk Hamdan tepat saat papanya duduk.

Air mata Firli mengalir tanpa bisa ia tahan. Buliran bening itu menitik tanpa aba-aba. Tangisan luapan emosinya seketika berhamburan dalam dekapan papanya. Beberapa waktu ini Firli bertahan menyimpan segala rasa, tapi malam ini ia tak bisa menahannya lagi.

Firli bukan orang yang bisa memendam kegundahan lama-lama. Selama ini jika ada hal yang mengganggu pikirannya, ia akan bercerita kepada Rina, ayahnya, sepupunya, atau Dita, tapi untuk yang satu ini Firli tak bisa. Ia jadi kebingungan harus bagaimana mencari solusinya.

"Mau cerita sama Papa?" ujar Hamdan lembut. Ia rangkul tubuh bergetar putrinya. Mengusap lembut punggungnya agar putrinya tenang.

Isak tangis Firli bertambah. Takut, kehilangan, sakit, dan rasa cintanya membaur di hati tanpa bisa Firli urai. Ia seolah terdesak tanpa bisa menemukan celah untuk lolos. "A ... aku harus gimana, Pa?" sahutnya di antara isaknya.

Iya, dia harus bagaimana? Di satu sisi ia ingin bersama Azam, tapi di sisi lain jika ia bersama pria itu, Firli takut ....

"Cerita sama Papa jangan dipendam sendiri. Kita cari solusinya bareng-bareng, ya," bujuk Hamdan. Ia yakin putrinya terbebani oleh sesuatu hingga menangis sesenggukan seperti saat ini.

Tbc.

Puk puk Firli. Dah jangan nangis terus Firli, matamu bengkak itu lho. 🤭🤭




Gila Nggak, Sih?Where stories live. Discover now