17

13.5K 2.5K 242
                                    


Holaaa! Ayem kaminggg! Ada yang kangen wkwkwk... Dahlah baca Firli aja.

Semongko sis💪

🌛🌜

Rina membuka pintu kamar Firli, terlihat anaknya itu tidur memunggungi pintu. Ia menutup pintu pelan-pelan lalu menghampiri Firli. Sudah beberapa hari ini ia merasa putrinya berbeda.

Firli terlihat sering melamun, guyonan-guyonannya pun berkurang. Ekspresi cerianya muncul jika ada orang di dekatnya, selebihnya murung. Tak jarang Rina mendapati mata putrinya merah dan sedikit sembab, jika ditanya terkena shampo jawabnya. Rina tahu ada yang salah tapi ia tak tahu penyebabnya, sampai kakak iparnya menelepon menanyakan mengapa Firli membatalkan pernikahannya.

Tentu saja Rina kaget setengah mati. Ia sama sekali tak tahu perihal itu, sebab Firli tidak mengatakan apa pun. Ia duduk di belakang putrinya, mengusap ringan kepalanya. "Fir," panggilnya lirih.

Firli menoleh ke arah ibunya lalu beringsut duduk bersandar di tembok. "Mama. Kenapa, Ma?" tanya biasa saja seolah tak ada yang membebani pikirannya.

Dalam penglihatan Rina, Firli seperti menyimpan sesuatu tapi akan sukar mengoreknya bila Firli enggan membukanya. "Eum ... itu ... Mama pengin tahu kenapa kamu tiba-tiba batalin pernikahanmu? Bude tadi telepon, tanya alasannya. Karena Mama nggak tahu, ya, Mama jawab nggak tahu. Mama kaget, lho, soalnya kamu nggak ada omongan apa-apa. Kenapa, Nduk? Apa yang bikin kamu berubah pikiran? Padahal kemarin-kemarin kalian baik-baik aja," ujarnya lembut seraya menepuk-nepuk tangan Firli yang ia genggam.

Firli menunduk, memainkan kancing piyamanya. Ia menarik kedua bibirnya ke dalam. "Nggak siap, Ma," ujarnya tetap menunduk. "Aku sek pengin kumpul-kumpul. Nggak mau dirusuhi sama tanggung jawab ke suami. Sek pengin seneng-senenglah," lanjutnya enteng.

Emosi Rina tersulut akan jawaban ngawur Firli. Bisa-bisanya karena alasan tidak bermutu itu, putrinya membatalkan pernikahan yang tetek bengeknya sudah disiapkan. "Koen, yo, Fir ...." Rina mencubit tangan Firli lalu melepasnya. "Astaghfirullah," ujarnya menenangkan diri sendiri.

"Nanti pas nikah kan yo bisa, Fir. Alasanmu iku ngawur. Bude mbek Mama iki udah siap-siap, kamu kok main ora sido ae (kok main nggak jadi aja). Prosomu iku dulinan opo. Saiki jujur mbek Mama, kenopo moro-moro batal. Tak balang sandal awakmu lek alasane nggak pokro (kamu kira ini mainan apa. Sekarang jujur sama Mama, kenapa tiba-tiba batal. Tak lempar sandal kamu kalo alasannya nggak bener)." 

"Justru nggak main-main itu, Ma, aku milih nggak aja. Aku nggak bisa apa-apa. Ini itu masih Mama, apa-apa Mama. Semua serba Mama terus harus urus suami, bisa stres aku, Ma," jelas Firli kemudian menghela napas. Pandangannya berbeda, hampa. Setengah melamun seolah Firli terseret ke dunia lain. "Takut juga nggak bisa jadi istri yang baik, bener, dan imbangi dia. Takut bikin malu dia, Ma," ungkap Firli akan ketakutannya.

Rina menatap wajah Firli yang muram. Apa sebenarnya yang terjadi pada putrinya? Ke mana kepercayaan diri anaknya? "Semua itu bisa dipelajari pelan-pelan, Fir. Berproses. Semuanya juga awalnya belajar, Fir, nggak langsung pinter," kata Rina lembut membesarkan hati Firli. Ia ingin anaknya tidak berpikiran buruk akan dirinya sendiri.

Perlahan wanita muda itu menatap Rina dengan tatapan memohon. Mata itu sedikit sipit itu berkaca-kaca. Ia meraih tangan mamanya, menggenggam erat. "Ma ...." Suara Firli menjadi serak. "Please. Tolong batalin, ya." Ia memohon pengertian Rina diiringi tangisan. Ah, andai saja ....

Wanita berhijab itu menghela napas lalu mengangguk. "Ya udah, nanti Mama bilang Bude." Tangannya menghapus air mata Firli. "Ayo maem. Mama lihat beberapa hari ini kamu kayak nggak semangat maemnya, padahal biasanya tukang habisin."

Gila Nggak, Sih?Where stories live. Discover now