❣️❣️❣️
Helaan napas besar berembus dari bibir tipis merah jambu milik Firli sebelum turun dari motor dan memasuki gedung bertingkat dua di depannya. Meski tampak biasa saja di luar, dalam hati Firli menyimpan kekecewaan akan akhir hubungannya dengan Soni. Firli sadar tidak seharusnya ia kecewa sebab tak ada kata cinta terucap. Tetapi tetap saja ia merasakan sakit jika berakhir seperti ini—kedekatan mereka selama ini, membuat Firli berharap ke jenjang lebih serius—dan sakitnya seperti ditusuk jarum suntik. Bedanya, jika ditusuk jarum keluar darahnya biarpun sedikit, kalau sakit hati tidak berdarah, tapi nyesek.
"Apes-apes, gini amir rasanya kena PHP."
Setelah mengurai kecewa yang sebesar kacang tanah, Firli bergegas masuk sebelum shift-nya dimulai. Namun baru beberapa langkah, ponsel di tas gadis bersurai lurus itu berdering nyaring. Setelah membaca nama penelepon, Firli segera menggeser bulatan hijau ke atas.
"Ya, Mas Zam?" jawabnya sembari berjalan ke gedung kerjanya.
"Bulek diminta ke rumah."
"Kenapa Bude nggak telepon Mama aja? Aku lagi di kantor." Ia melepas sling bag-nya dan membuka loker dengan satu tangan.
"Mama lagi makan, kukira kamu libur. Yo wes, engkok ben ditelepon (ya sudah nanti biar ditelepon), Mama. Oh ya kata Mama, kamu nanti sekalian ke rumah. Sudah, ya, kututup."
Setelah telepon ditutup Azam, ia bersiap ke depan untuk pergantian shift. Baru beberapa langkah dari loker, Firli berpapasan dengan Soni. Pria itu seakan terkejut, tak mengira akan bertemu dengannya. Bahkan senyum Soni yang biasa diperlihatkan untuknya pun tidak tampak.
Berusaha bersikap seperti biasanya, Firli melebarkan bibir membentuk lengkungan dan menyapa pria yang pernah dekat dengannya selama beberapa bulan ini. "Pagi, Pak."
Soni tertegun dengan sikap Firli yang tak tampak menyimpan amarah untuknya, padahal jika dipikir-pikir, dirinya sangat jahat kepada gadis itu, karena sudah mem-PHP-nya. Ia berdeham guna menetralkan gugup dari rasa bersalah yang menyusup, sebelum menjawab sapaan Firli. "Pagi... aku...."
"Saya ke depan dulu, Pak, sudah waktunya. Permisi." Setelah menunduk hormat, Firli berlalu dari hadapan pria berperawakan sedang tersebut. Senyum kecut bertahan beberapa saat ketika kekecewaan memeluknya lagi.
❣️❣️❣️
"Budeee!" teriak Firli dari motor yang baru saja dimatikan tepat di belakang mobil biru Azam.
Azam yang kebetulan baru menutup pintu mobil, menumpukan satu tangan di spion menggeleng heran, ada, ya, perempuan seperti sepupunya itu. Tidak ada jaim-nya sama sekali. "Cewek kok teriak-teriak, minta diiket itu mulut. Kalah sepiker masjid sama teriakanmu, Fir," komen Azam melangkah mendekati Firli. "Buruan turun, kebiasaan naruh motor asal." Ia mendorong maju motor Firli sejajar dengan mobilnya setelah gadis tersebut turun.
"Sengaja, kok. Biar hati, Mas, denger suaraku terus. Eakkkk!"
Azam menatap tak percaya mendengar ucapan Firli. Dirinya sedang digombali? "Elah, si bocah lagi gombalin orang."
"Bocah-bocah gini bisa bikin anak, lho."
Azam menarik salah satu alisnya ke atas, mengerutkan dahi melihat Firli. Aneh. Tangannya memegang kening sepupunya itu. "Otakmu ngeres (kotor), Fir. Kesambet di mana, tiba-tiba jadi kang gombal. Mas lagi yang digombalin," ujar Azam setelah merasakan kening Firli baik-baik saja. "Pasti ada maunya ini. Mas hafal banget. Mau minta ap...."
Kalimat Azam menggantung saat Firli menghambur memeluknya. Ia rasakan tautan tangan Firli di punggung begitu erat hingga tubuh mereka menempel rekat. Isakan samar pun terdengar, tubuh berisi Firli bergetar, dan ia merasakan kemeja abu-abunya basah. Azam bingung, mengapa tiba-tiba si cuek bersedih bahkan menangis. Tidak biasanya.
Azam memilih diam, mengusap naik turun punggung Firli dengan lembut, sesekali ia usap kepala bersurai hitam itu. Ia memberi waktu untuk gadis yang biasanya ceria itu mengeluarkan tangisannya hingga benar-benar lega. "Udah?" Anggukan samar dalam dekapannya membuat Azam kembali mendorong lembut badan Firli, tetapi tak berhasil sebab Firli tak ingin lepas.
"Biar gini dulu." Firli semakin merapatkan tububnya. Harum cologne Azam bercampur keringat membuatnya tenang. Ah, ia jadi ingat sewaktu kecil, selalu seperti ini. Firli akan mencari Azam jika dia sedih. Hanya pada pria ini ia tidak malu untuk menangis dan terlihat rapuh.
Berbeda dengan Firli yang tampak nyaman. Azam mati-matian menahan reaksi tubuhnya yang mendadak kegerahan. Bagaimana tidak gerah jika ia mendapat tekanan lembut di dada. Dekapan Firli terlalu erat dan itu sangat menyiksa Azam. Bukan ia berpikiran kotor, hanya saja ia pria normal yang bisa terpancing jika Azam ditempeli erat seperti lintah.
Karena itu, dia mencoba menjauhkan tubuh mereka guna menenangkan tubuhya sendiri, terutama bagian paling vital. "Lepas dulu, Fir. Kamu bisa cerita sambil duduk." Gadis itu mendongak menatapnya dengan wajah merengut lalu melepas pelukan dengan kasar.
"Mas, ih! Aku lagi sedih lho, masa dipeluk aja nggak mau. Takut ketahuan Mbak Tita, ya? Masa sama adek sendiri cemburu," rungutnya sambil mengusap lelehan air mata yang kembali turun karena kesal Azam tidak mau peluk, bukan lagi karena rasa kecewa terhadap Soni.
Azam menghela napas dalam, menggaruk kasar kepalanya padahal tidak gatal. "Mas bukannya nggak mau, Fir, tapi...."
"Tapi apa?!" potong Firli marah. "Orang Mbak Tita juga nggak ada, kok."
Helaan kembali terdengar dari Azam. Ini gadis ... bodoh atau bagaimana, sih? Menggaruk kepalanya lagi, Azam mencoba mencari kata-kata yang mudah dipahami Firli. Gadis ini meskipun sudah besar, untuk mencerna hal-hal semacam itu sedikit lambat. "Bukan masalah ada Tita atau nggak, tapi kalo kamu ndusel (mepet) gitu terus, Mas lama-lama ya bangun, Fir. Kasihan Mas, dong."
Tangisan Firli akhirnya mereda. Keningnya mengernyit untuk mencerna omongan Azam. "Bangun? Kan dari tadi, Mas, juga bangun. Nggak nyambung, ih."
"Makanya jangan main peluk gitu, bahaya kalo ada yang bangun. Untung Mas, kalo cowok lain? Pokoknya bahaya, deh."
Firli pun semakin bingung dengan omongan Azam yang tidak jelas itu. "Ih, Mas, tuh ngomong apa, sih? Aku nggak ngerti ini," sahut Firli. "Lagian, ya, aku tuh nggak main peluk, cuma ke, Mas, aja. Ke Mas Randu sama Mas Ilham nggak, tuh."
Kan? Soal beginian Firli itu polos, cenderung bodoh untuk mengerti. "Hemmm." Kemudian ia melewati Firli ingin masuk ke rumah, tetapi tangannya ditahan Firli. Ia menoleh dengan tatapan bertanya.
"Hehehe, beliin bakso ya. Laper, Mas, abis nangis."
"Astaga!!"
❣️❣️❣️
YOU ARE READING
Gila Nggak, Sih?
Romance(Terbit) Sebagian cerita sudah dihapus. Andai Firli tahu jodohnya hanya sejengkal, mungkin dirinya tak perlu bersusah payah mencari sang pemilik hati. Apalagi menjaga jodoh orang, membuat sesak napas saja.