[2] What's Up!

Mulai dari awal
                                        

"Ah, minggir!"

Zaga menatap punggung lelaki itu dengan helaan napas. Setidaknya ia tahu, kedepannya Abay tidak berbuat bodoh dengan benar-benar mencari keributan with Dasa Jayaraksa.

"Ga?"

Agista menghampiri Zaga dengan berlari kecil. Ia mengikuti arah pandang Zaga tadi. "Abay marah lagi?"

Zaga menyunggingkan senyumnya, mengusak kepala perempuan itu dan turun untuk menepuk pipinya. "Sekarang udah nggak."

Agista mulai terbiasa ketika teman-temannya mengusak kepalanya, mencubitnya, dan menepuk pipinya. "Ya udah gue balik, bye."

"Eh Ta," Zaga menarik tangannya. Menatap perempuan tersebut dengan penuh harap. "Welcome back ya." ujar Zaga. Agista mengangguk.

"Lo juga."

Selepas kepergian Agista, Zaga tidak berencana memasuki kelas. Ia terpikirkan oleh sebuah ide yang lebih baik. Ia akan ngacir saja ke kantin. Lagi pula, ini masih masa pengenalan lingkungan sekolah alias MPLS.

"Gimana Ta?" tanya Izly mengulik informasi. Agista mengusap roknya sebelum duduk di sebelah kiri Izly. Fariz dan Hendra menyimak.

"Ya gitu deh, Abay biasa kalo pagi hari sukanya sensi. Dia mau bales dendam sama Dasa. Dia nggak terima cowok itu diberi jaminan kebebasan. Jadinya Abay mau ngajak ribut dia." jelas Agista membuat mereka mengangguk paham.

"Abay jadi bales dendam kagak?" tanya Izly antusias. Agista menggeleng. "Nggak tahu juga sih."

"Dari mana lo tahu semua itu?" tanya Hendra. Agista menatapnya dengan senyuman penuh arti.

"Gue kan bisa nerawang. Makanya bisa tahu semuanya." ujar Agista memegang kedua pelipisnya dengan mata yang dipicingkan. Padahal, ia mengetahui berbekal aksi menguping pembicaraan Abay dengan Zaga.

Izly menggelengkan kepalanya saat Hendra percaya begitu saja. "Dia ngawur Ndra. Jangan percaya."

"Dasar Agista tukang halu. Mana bisa seseorang menerawang gitu aja?" ujar Fariz menye-menye. Agista tersenyum penuh arti.

Nyatanya ada emang.

"Kalian kelas dua belas deg-degan nggak?" ujar Izly menatap ketiganya. "Maksud gue, takut nilai jelek nggak?"

"Iyalah, jelas. Pasti, kelas kita kok nggak takut nilai jelek. Tidak mungkin itu mah." balas Fariz menyerobot. "Kelas diamond gitu lho." ucapnya. Tersirat kesombongan yang terlontar.

"Riz jangan sombong. Lo tahu kan azab orang sombong?" peringat Hendra menunjuk lelaki itu. Fariz terkekeh.

"Ampun dah Ndra. Amit-amit kalo kena azab."

"Makanya jangan sombong."

"Iya,"

"Tapi yang paling gue khawatirin itu nantinya kita bisa masuk fakultas nggak ya?" ujar Izly mengundang penasaran diantara mereka.

"Kenapa gitu?" ujar Fariz tak suka. Ia membenci orang pesimis. Namun terkadang ia juga pesimis sendiri.

"Lo tahu sendiri kan track record SMA kita? Udah pinggiran, buangan, dipandang sebagai sampah lagi. Ditambah, cuman beberapa kakak kelas yang bisa nembus pertahanan PTN. Persaingan menuju PTN itu nggak mudah lho." ujar Izly mendadak parno sendiri.

"Iya juga sih, SMA kita memang meluluskan banyak anak, tapi tidak bisa memberi mereka kesempatan kuliah." ujar Hendra. "Bisa dibilang minat kuliah anak SMA Gemilang itu sangat rendah."

Agista menyela. "Hey kita masih kelas dua belas semester awal. Pelajaran pun belum diberikan. Kenapa kalian memikirkan hal berat seperti itu?"

"Tapi kan Ta, semuanya harus dipersiapkan matang-matang sejak awal biar akhirnya tidak kececeran." ujar Izly menyanggah. Ia kurang setuju dengan sikap yang diambil Agista. Terlihat terlalu santai untuk Izly yang ambis.

SCIENCE 7 : UNITY IS PRIORITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang