Om Ari, dan Bu Tika tersenyum. Lantas mengangukinya, dengan langkah pelan. Wanita itu, menghampiri keponakannya yang sedang berbincang dengan sahabatnya.

“Zia,” panggilnya.

Perempuan itu menghentikan tawanya, ia menengadah menatap Tantenya. “Iya Tante?”

Tante Tika tersenyum, lalu berkata. “Ayo, ikut Tante sebentar. Ada yang ingin bertemu denganmu,” ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Azizah yang mengerutkan keningnya.

Langkah keduanya membawa mereka ke ruang tamu, dimana semua orang sudah menunggu. “Nah, itu Azizah. Sini Nak, Pak Baskoro dan Bu Tina ingin bertemu.”

Azizah tersenyum, walau ada rasa bingung di benaknya. “Masya Allah, kalau dilihat dari dekat ternyata lebih cantik ya,” kata Bu Tina sembari mengusap lembut punggung Azizah.

Perempuan itu tersipu malu, seraya menjawab. “Terima kasih Bu, ibu juga tak kalah cantik.” Wanita paruh baya itu tertawa.

“Kamu lucu sekali Nak. Andai, Rangga bisa kami ajak cepat untuk mengkhitbahmu. Mungkin, sekarang yang akan menikah denganmu adalah putra saya.”

Azizah melunturkan senyumnya, bukannya ia tak suka mendengar ucapan yang keluar dari bibir wanita paruh baya tersebut. Tapi, entah kenapa. Gejolak rasa dalam dirinya, hanya sepenuhnya milik calon suaminya.

Azizah terlampui berharap bisa bersanding dan menjadi istri dari Reano, oleh karena itu, ia merasa tak suka akan kata yang diucapkan wanita itu.

Astaghfirullah.” Perempuan itu, langsung beristighfar dalam hati.

“Tidak usah difikirkan begitu, Ibu tadi hanya bercanda.” Azizah terkesiap, ia lantas tersenyum, kala netranya menatap wajah lembut, wanita paruh baya di depannya.

Pak Baskoro terkekeh, lantas ia menatap Om Ari yang hanya diam memandang ke depan. “Pak Ari,” panggilnya.

Om Ari terkejut, ia lalu menatap tamu di depannya. “Iya, bagaimana Pak?”

Pak Baskoro kembali terkekeh, lalu ia berdiri diikuti sang istri. “Kami pamit dulu, semoga pernikahan Azizah dan calon suaminya diberikan kelancaran. Aamiin,” ucapnya seraya menjabat tangan Om Ari yang juga sudah berdiri.

“Aamiin, sekali lagi saya minta maaf Pak Bas, kalau kedatangan anda tidak kami sambut dengan baik.”

Pak Baskoro tertawa, ia berjalan pelan menuju kearah Om Ari, dengan tangan yang memegang kedua pundak laki-laki tersebut, Pak Baskoro berkata. “Sudahlah, tak perlu segan seperti itu dengan saya. Azizah juga bisa menentukan sendiri pilihannya.”

Om Ari tersenyum, lalu mengangguk, dengan langkah pelan, mereka berempat berjalan menuju ke luar pintu. Meninggalkan Azizah yang terduduk sendiri.

“Astaghfirullah, mengapa hatiku merasa resah. Ada apa ini Ya Allah?” gumamnya, seraya menangkup dagunya. Memejamkan netra, hingga suara sahabatnya terdengar.

“Aduh Zia, calon pengantin gak boleh kebanyakan melamun,” tegur Adira sambil duduk di samping Azizah, dibantu oleh suaminya.

Perempuan itu memutar kedua bola matanya, “Iya-iya Bumil.”

Adira terkekeh, lantas menatap pintu keluar. “Tadi siapa Zi?” Tanyanya penasaran.

Azizah menggeleng, ia juga tak cukup kenal dengan kedua paruh baya tersebut. Mungkin, rekan bisnis Omnya.

“Tidak tahu Dir, kayaknya sih rekan bisnis Om Ari,” jawabanya.

Adira mengangguk, lalu menatap suaminya yang bermain ponsel di sampingnya. “Mas,” panggilnya.

Assalamu'alaikum Cinta [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt