15 - Virus Terdeteksi

18.8K 2.8K 68
                                    

Halo semuanya,

Please bantu saran dan kritikan buat cerita ini ya..

Bukannya menjawab, tahu-tahu ia meraih tanganku, menarikku berdiri dan seketika badanku terhuyung ke arahnya.

Mataku melotot membuka saat tubuhku hampir saja menabraknya. Hampir. Beruntung gerak refleksku masih cukup bagus, tanganku mampu bertahan erat pada pegangan kursi membuat badanku berhenti seketika tepat sebelum menyentuhnya. Aku tidak mau terlibat dalam adegan picisan yang sering kubaca akhir-akhir ini di setiap proyek editorialku. Dimana si wanita akan dengan pasrah saat ditarik sang pria begitu saja. Adegannya yang menggelikan.

Apalagi saat ini yang berdiri di hadapanku adalah dosen, dosenku. Well, meskipun hanya dosen pembimbing proyek tapi tetap saja statusnya dosen. Dan itu semestinya mematikan apapun perasaan yang kupunya padanya. Itupun kalau ada.

Setahuku, tidak ada perasaan apa-apa untuknya. Dan harus tetap begitu.

Jadi Hana, kuasai dirimu. Jangan mudah terlena, waspada wajib hukumnya. Apalagi kami hanya berdua di ruangan ini, walau pintunya terbuat dari kaca namun tidak transparan. Menghalangi pandangan dari luar sana.

Ya tempat yang sempurna, berduaan dengan seorang pria. Tapi dia ini dosen, dan teman Chandra. He is off limit.

Otakku bisa memproses segala macam pikiran rasional, namun hatiku tidak. Jantungku berdegup kencang, mencoba menghalangiku berpikir waras.

Belum sempat aku memproses kejadian ini, pak Angga mengangkat pergelangan tangan kananku mendekati wajahnya dan menyingkap lengan kemeja yang kukenakan.

"Pak?" Protesku sambil menarik tangan dari pegangannya, namun gagal. Genggamannya erat.

"Diam sebentar." Perintahnya yang langsung kupatuhi. Perlahan lengan kemejaku digulung ke arah siku memperlihatkan luka yang seharian ini kusembunyikan.

"Ini kenapa?" Tanyanya menatap dua garis luka sejajar yang membentang dari pangkal pergelangan tangan hingga setengah lenganku. Luka tipis memanjang sekitar 10 cm yang masih segar. Tidak berdarah, hanya saja masih cukup perih. Padahal sejak bertemu dirinya, aku sudah lupa rasa sakit ini. Sekarang malah ingat lagi.

"Nggak apa-apa pak. Bukan seperti yang bapak pikirkan."

"Memang apa yang saya pikirkan?"

"Mungkin...percobaan bunuh diri?"

Lagi-lagi dia tersenyum bahkan terkekeh kecil menanggapi ucapanku. Senyuman manis yang meluluhkan hati. Pandanganku kualihkan kemana saja asal jangan wajahnya, gak kuat. Tangannya masih bertahan di pergelanganku, mungkin detak jantungku yang menggila bisa dirasakannya.

"Lukanya tidak dalam, bukan seperti sayatan pisau. Tidak berbahaya. Letaknya di tangan kanan dan setahu saya kamu tidak kidal. Lagipula, kamu bukan gadis lemah yang bakal berpikir bunuh diri sebagai solusi alternatif semua masalah. Jadi tidak mungkin ini luka akibat percobaan bunuh diri. Bukan begitu?" Beliau berbicara sambil memperhatikan luka dan menatap mataku teduh.

Astaga, caranya menggambarkan diriku tak urung membuat perasaanku melambung. Belum pernah aku dipuji seperti ini. 'Kamu bukan gadis lemah' katanya, sebuah kalimat yang membuatku bangga. Pujiannya tidak hanya manis di telinga melainkan masuk hingga ke sudut hati paling dalam. Seketika perasaanku menghangat.

Kamu bukan gadis lemah yang bakal berpikir bunuh diri sebagai solusi alternatif semua masalah. Ini lebih dari sekedar pujian, ini kepercayaan. Dengan kata lain, beliau percaya bahwa aku bukan gadis bodoh yang akan melakukan tindakan rendah seperti itu.

BEDA SEGMENDonde viven las historias. Descúbrelo ahora