44 - Final Decision

15.3K 2.3K 206
                                    

Jumpa lagi setelah sekian lama. Lapaknya udah berdebu.

Masih ada orang kan?

❤❤❤
***

Awal semester genap baru saja dimulai, aku resmi menjadi mahasiswi semester 6. Di semester lalu begitu banyak peristiwa yang terjadi dalam bidang akademis dan juga hidupku. Secara akademis, IP semester ganjil anjlok dibanding semester sebelumnya. Meskipun mata kuliah RPL dan dua mata kuliah lainnya mendapat nilai A namun secara rerata tidak bisa mendongkrak akumulasi IPK. Semua itu bukan hal mudah mengingat saat UAS hatiku tengah sekarat.

Amara yang sudah resmi berganti status tidak bisa diajak ketemuan selama liburan semester. Meskipun satu kota namun kegiatannya sudah berbeda jauh denganku. Dia menghabiskan waktu dengan suaminya, aku menghabiskan waktu dengan kewajibanku di Nuansa. Waktu yang ada kumanfaatkan untuk menyelesaikan target editing naskahku yang banyaknya nggak tanggung-tanggung. Karena fokus kesana, aku nggak punya waktu lagi untuk liburan, bahkan merayakan ulang tahunku.

Aku juga berhenti membantu di Prolog. Kesibukan menjelang UAS dan pekerjaanku di Nuansa membuatku nggak sempat datang ke sana. Daripada dibilang makan gaji buta, lebih baik aku mengundurkan diri secara sukarela. Chandra juga sudah mendapatkan pekerja tambahan seperti yang kuminta dulu.

Terakhir, hubunganku dengannya. Setelah kejadian di resepsi Amara waktu itu, dia terus mengirimiku pesan setiap hari. Kadang hanya menyapa, bertanya, atau menceritakan hari-harinya. Namun jarang kubalas. Aku hanya membalas kalau pertanyaannya urgent, selebihnya kubiarkan saja. Ada hati yang sedang kujaga, dalam konteks ini: hatiku.

Saat hari ulangtahunku, dia mengajakku kencan. Entah kemana aku tak tahu, karena ajakannya langsung kutolak. Waktunya nggak tepat, aku sedang UAS. Lagipula aku belum siap seandainya pembahasan kami sebelumnya kembali diungkit-ungkit.

Aku mencintainya, ya. Aku menyayanginya, ya. Tapi aku belum siap menjadi pendamping hidupnya. Perasaanku terlalu gamang memikirkan itu semua. Bisa jadi aku takut akan masa depan, atau bisa juga karena perasaan terkhianati itu masih ada, belum hilang sepenuhnya.

Trojan Horse : Pagi. Sudah mulai kuliah hari ini?

Trojan Horse : Ada kelas nggak? Mau diantar?

Setiap hari, selalu ada pesan darinya. Pesannya pagi ini nggak tergolong urgent, jadi nggak penting juga dibalas. Aku hanya menjanjikan tidak memblokir nomornya, dan itu tidak termasuk membalas pesannya.

Kadang, aku sempat goyah. Membaca lagi berulang-ulang riwayat ruang obrolan kami sejak awal hubungan ini. Topik-topik random yang anehnya tetap mampu membuatku tersenyum. Tebak-tebakan garing yang membuatku mulai merasa nyaman. Sayangnya logikaku menolak kalah. Apa yang dia lakukan terlalu fatal untuk kelangsungan masa depanku. Belum bisa kuterima.

Trojan Horse : Saya otw ke rumah kamu.

Astaga, nggak boleh. Dia nggak boleh ke rumah saat kondisinya kami sedang begini. Aku belum siap mengenalkannya secara resmi pada orangtuaku. Hubungan kami sedang tidak jelas, setidaknya dari sudut pandangku. Mengenalkannya sebagai apa? Pacar? Orang yang melamar, atau orang yang menghalangi masa depanku?

You : Nggak perlu. Aku berangkat bareng papa.

Please jangan sampai dia ke sini. Aku belum mau bertemu dia lagi. Sarapanku baru habis setengah sedangkan papa sudah hampir selesai padahal kami mulai bersamaan. Pria dan kemampuan makan cepatnya sungguh mengagumkan.

"Papa berangkat kerja dulu," ucap Papa saat menyelesaikan sarapannya.

"Pa, aku nebeng ke kampus ya?"

BEDA SEGMENWhere stories live. Discover now