23 - Unhide (2)

18.8K 3K 218
                                    

Salah satu keunggulan komputer adalah dapat melakukan beberapa hal bersamaan, atau bahasa kerennya multitasking. Seperti yang sedang kulakukan sekarang, di lab komputer saat asisten praktikum sedang menjelaskan fungsi syntax dalam program, aku malah menyelesaikan pendingan review novel untuk ku-submit ke Pak Bos. Sesekali ketika sang asisten praktikum memandangku, aku segera memasang tampang paling serius yang kupunya seolah sok memperhatikan.

Untung saja sang asprak mudah dikelabui, coba aja kalau Pak Angga pasti sudah ketahuan. Tuh, kan lagi-lagi aku mikirin dia.

Ketika jadwal praktikum selesai, review novelku juga selesai. Sekarang saatnya mengantarkannya ke Pak Bos. Biasanya file hasil review kukirimkan via email, namun karena siang ini pak Bos berada di Prolog yang jaraknya dekat dengan kampusku, beliau meminta cetakan draft langsung.

Kuliah beres, kerjaan juga beres. Memang beginilah semestinya hari-hari Raihana Adelia, aku bangga pada diriku. Oh pak Taher, putrimu ini sungguh luar biasa. Papa mesti bangga.

Meski mood hancur berantakan, tugas dan tanggung jawab wajib diselesaikan. Patah hati boleh, patah semangat ya jangan. Patah semangat berujung malas kerja dan bisa saja gaji dikurangi. Nah, kalau income menurun ini baru namanya bencana.

Singkatnya, tak apa patah hati asalkan jangan patah rezeki. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya memerlukan uang.

Begitu angkot yang kutumpangi berhenti di depan Prolog, aku melangkahkan kaki dengan riang dan ringan. Tak akan kubiarkan orang lain tahu bagaimana hancurnya moodku saat ini. Mood adalah urusan pribadi yang tidak lebih penting ketimbang pekerjaan.

Dentang lonceng berbunyi saat pintu kubuka, dan orang yang sedang tidak ingin kutemui justru ada di sana. Duduk bersama Pak Fadil dan Chandra di satu meja. Dia belum menyadari keberadaanku, tapi sosoknya seakan mampu mengunci saraf mata dan otakku agar hanya tertuju padanya. Semenarik itulah dia. Sungguh gak adil.

"Hana, sini!" Pak Fadil pertama kali menyadari kehadiranku, dengan dagunya memberi kode agar aku bergabung dengan mereka. Aku sungkan, tapi...

"Hai Pak," kubalas sapaan Pak Fadil dengan senyum paling manis yang kupunya. Rasanya moodku naik delapan puluh persen karena dia.

"Dari kampus?" tanya Chandra yang kutanggapi anggukan ringan. Dia menarik kursi di sebelahnya dan memintaku duduk. Om-ku sedang baik hati.

"Sudah makan siang?" kenapa di antara mereka bertiga suaranya yang terdengar paling lembut? Kalau begini gimana caranya aku menangkal pesonamu Pak.

Aku menggeleng ringan, "Belum, Pak."

"Pesan gih, terserah mau makan apa," timpal Chandra.

Dari sekian banyak menu yang ada di Prolog, tidak ada yang menggugah seleraku siang ini. Padahal biasanya aku paling suka Aglio Oglio, rasanya enak banget. Tapi aku sedang nggak berminat. Kubolak balik buku menu yang isinya sudah kuhafal, tapi mataku belum menjatuhkan pilihan.

"Ntar aja deh," kututup buku menu, menyingkirkannya ke samping.

"Bapak kemana aja? Perasaan lama banget kita nggak ketemu. Sekitar 2 mingguan mungkin ya," tentu yang kumaksud adalah Pak Fadil.

"Dua minggu mah nggak lama," sela Chandra.

"Kenapa, kangen saya?"

Ck, mulai lagi tingkah narsisnya. "Kangen sih enggak, ngerasa kehilangan iya ... dikit," balasku dengan cengiran tengil. Toh pak Fadil tahu aku bercanda, jadi gak ada salahnya kuisengin balik.

"Saya cuti. Refreshing lah, bosen liat kampus terus."

"Lihat saya nggak bosen kan, Pak?"

BEDA SEGMENWhere stories live. Discover now