ini kesembilan

29.2K 3.4K 133
                                    

"Rumi! Risol bagian lo mana?" Tanya Cika menghampiriku yang baru saja selangkah memasuki kelas. Aku tersenyum sambil mengangkat wadah yang kutenteng.

"Nih. Masih anget, udah dibungkus plastik juga. Sesuai instruksi lo semalem di grup WA," kataku panjang, memberikan informasi. Cika mengangguk-angguk. "Bagus deh."

Setelah memastikan daganganku, Cika balik ke bangkunya. Begitupun aku yang melangkah mendekati bangkuku, dan duduk. Kuperhatikan meja sampingku masih kosong, yang menandakan Joan belum datang. Padahal bel masuk sebentar lagi akan berdering. Aku tahu dia pasti akan telat, seperti biasanya. Mungkin karena semalam maraton nonton lagi.

Hari ini seperti yang sudah bisa ditebak adalah hari di mana kelasku harus berjualan, tepatnya disuruh berjualan di pelajaran Kewirausahaan. Kelompokku seperti hasil diskusi sebelumnya (lebih tepatnya sih kemauan Cika seorang) menjual risoles isi sayur dengan tambahan saus atau cabai, dijual dengan harga lima ribu dapat dua bungkus.

Minggu lalu, aku dan Joan sudah pergi ke pasar tradisional untuk membeli bahan-bahannya. Senin sore kemarin, sepulang sekolah, kami berlima pergi ke rumah Cika dan membuat adonannya, yang kemudian kami bagi-bagi untuk dibawa pulang. Dimasak di rumah masing-masing Selasa paginya, agar risolesnya masih terasa hangat, dan kami menjadi praktis, tidak perlu repot.

"Selamat pagi semua," sapa Bu Sari ketika dia memasuki kelasku yang bagai pasar ini. Adalah wadah-wadah makanan di sana-sini, belum lagi ada juga daun pisang bertaburan milik kelompok lain yang digunakan untuk membungkus.

"Selamat pagi, Buuu," balas kami bersamaan.

"Waduh, berantakan sekali, ya. Ini tolong nanti dibereskan ya, jangan begini sampai pelajaran selanjutnya," ucap Bu Sari sambil berjalan memutari kelas, melihat-lihat produk makanan yang kami buat.

"Baik, Bu."

"Ini keliatannya enak-enak. Nih onde-onde, risoles masih anget-anget lagi. Ini entar kalian keliling sekolah ya, jangan sampai ke luar, boleh masuk kelas lain asal engga ada gurunya. Boleh juga tuh masuk kantor guru," jelas Bu Sari memberikan kami instruksi.

"Siap, Bu."

"Yaudah, sana! Jualan."

Segera aku mengambil wadah risolesku dan mendekati Cika yang sudah berkumpul dengan Firman dan Sandi.

"Joan mana?" Tanya Cika yang engga bisa menutupi nada sebalnya itu.

Aku meringis. Memaki Joan dalam hati, karena masih saja telat padahal dia tahu bahwa ada Cika yang sekelompok dengannya. Aku hanya bisa berdoa agar nanti, kuping Joan dapat bertahan dari omelan beruntun yang akan dilayangkan Cika padanya, sama seperti setahun lalu ketika Joan juga terlambat di kegiatan berkolompok begini bersama Cika.

"Kurang tau," sahutku.

Cika menghela napas, bibirnya masih kulihat mengerucut sebal.

"Yaudah deh, kita nyebar aja dulu."

"Oke."

"Oke."

Sahutku, Firman, dan Sandi bersamaan. Setelahnya kami berpencar. Aku lalu memutuskan untuk mengunjungi kelas sebelah, 11 IPA 4 yang sebagian siswanya kukenal. Untungnya saat aku mengintip lewat jendela, engga kudapati guru di sana. Aku lalu mengetuk pintunya, membuka sedikit, dan melongokkan kepala.

"Ada yang mau beli risoles? Masih anget looooh," kataku merayu mereka. Aku lalu menguak pintu lebih lebar dan masuk.

"Jual apaan lo, Rum?" Tanya salah satu dari mereka.

"Risoles sayur. Ada daging ayamnya sedikit, sama telor. Enak banget deh, nyesel engga nyobain. Satu tiga rebu, dua lima rebu doang. Udah dapet saus cabe lagi," kataku menjelaskan daganganku. Aku lalu membuka wadah risolesku yang membuat baunya menyebar ke seluruh kelas, dan satu persatu anak-anak kelas itu mengerubungiku. Penasaran.

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang