10A • Stupidity

5K 761 187
                                    

🍬🍬 ------------------------------
I love without knowing how, when, or from where
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار


QIYYA masih berharap ada keajaiban yang bisa mengubah keputusan Hawwaiz. Meski kata orang jarak bukanlah suatu halangan, tapi bagi seorang ibu tetap saja rasanya berbeda. Dekat dengan keluarga di hari tuanya adalah impian setiap orang tua di dunia ini.

"Mas, pernah membaca tulisannya Ali bin Abi Thalib?" Qiyya bertanya sesaat ketika sedang menikmati sarapan pagi bersama Ibnu.

Akhir pekan ini sengaja Qiyya meminta Hanif untuk tidak mengantarkan kembar ke rumahnya karena ada hal penting yang harus dia bicarakan dengan Ibnu tanpa diganggu oleh keberadaan Habeel, Hafsha dan juga Hazwan.

"Tulisan Ali kan banyak, yang mana yang kamu maksudkan, Sayang?" Tidak ada yang berubah dari Ibnu dari awal dia menikah denga Qiyya sampai sekarang intonasi suara untuk istri tercinta selalu sama.

"Didiklah anakmu sesuai zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu."

"Tentang Hawwaiz?" tanya Ibnu, dia kemudian membenarkan letak duduknya dan meminta Qiyya untuk mendekat padanya.

"Anak bungsu itu biasanya manja kepada orang tua, Hawwaiz memang manja tapi dia sangat mandiri karena dia merasa menjadi anak pria yang bertanggung jawab melindungi dua kakak wanita dan juga bundanya," kata Qiyya.

"Dari mana kamu tahu?" Ibnu mengerutkan keningnya.

"Ketahuilah suami Qiyya, ayah dari kelima anak-anak Qiyya, sebagai seorang ibu, Qiyya cukup bisa memahami setiap karakter dari kelimanya. Bagaimana dewasanya Hanif, berusaha menjadi contoh yang baik untuk keempat adiknya, foto kopianmu banget itu, Mas. Hafizh si pekerja keras yang ambisius meski terkesan begitu santai. Almira yang terbuka dan begitu tegas walau terkadang ada sisi manja yang membuatnya selalu ingin diperhatikan. Ayyana yang pendiam dan berusaha bijaksana dalam banyak hal. Dan terakhir Hawwaiz, anak bungsu kita yang selalu Mas Ibnu banggakan dengan sersan mayornya. Serius tapi santai, bersikap manis dan selalu berkoordinasi sebelum melakukan apa pun."

"Lalu?" tanya Ibnu.

"Back to my statement, Mas, didiklah anak sesuai zamannya. Zaman kita berbeda dengan zamannya Hawwaiz. Ini bukan Qiyya ingin membela atau tidak taat kepada Mas Ibnu, bukan. Tapi bertukar pikiran itu tidak ada salahnya, jangan sampai kita nanti menyesal." Qiyya mengusap telapak tangan Ibnu.

"Kemarin Hanif cerita, dia sudah mengubah visanya untuk bisa menetap di sana. Apa Hawwaiz sudah bercerita denganmu?" Ibnu menarik dagu Qiyya yang tiba-tiba tertunduk setelah mendengar pertanyaannya. Satu bulir bening terlihat mengalir di pipi Qiyya yang bisa dikatakan tidak muda lagi.

"Kamu tahu kekhawatiran ibu apa, Mas?" Qiyya menjeda.

"Jauh dari anak-anak mereka." Qiyya menatap Ibnu dalam-dalam.

"Mau sampai kapan kalian saling mempertahankan ego, Mas?" tanya Qiyya pelan.

Ibnu masih bungkam dalam pikirannya. Memilih untuk tetap mendengarkan kalimat yang tersuarakan dari bibir istrinya.

"Mereka berdua ada di Inggris, Mas. Hawwaiz dan Vira ada di sana dan kita berempat tidak bisa memantau apa saja yang mereka lakukan di London atau di Oxford. Rasanya, bertemu dengan Arfan dan Kania bukan hal yang buruk," pinta Qiyya.

Menimbang beberapa saat akhirnya Ibnu menyetujui ide Qiyya dan memintanya untuk membuat janji ketemu di Malang, sekaligus mengunjungi Hafizh dan tentunya si mungil Kabsya.

AORTAWhere stories live. Discover now