13 • Merenda Mimpi

844 91 13
                                    


TIDAK perlu bertanya berat ringannya langkah ketika keputusan berat dalam hidup harus diambil. Kini tidak lagi ada pembeda antara sulung dan bungsu. Cheerful yang akhirnya memilih menjelma menjadi frezeer.

Katakanlah pada dunia jika matahari tak lagi bersinar dengan ceria meski demikian dia tetap harus menjalankan tugasnya untuk membuat dunia semakin nyata. Asal bukan terbit dari ufuk yang berlawanan, Hawwaiz masih harus menatap masa depannya dengan semangat. Ada banyak hal yang harus dibenahi, banyak hal yang wajib dituntaskan dan terlebih banyak hal untuk memperbaiki diri.

"Adik masih kepikiran dengan ucapan Om Arfan kemarin, Dad," kata Hawwaiz ketika mengantar Ibnu dan Qiyya ke bandara saat mereka memutuskan akan kembali ke Indonesia.

"Kita sudah sepakat bukan? Selesaikan janjimu di sini sesuai tujuan utama. Vira juga bersedia menunggu, dan selama itu berlangsung, Daddy tidak mau mendengar kejadian kemarin terulang lagi. Urusan dengan Om Arfan biar Daddy dan Bunda yang selesaikan." Ibnu tersenyum dibalik syal tebal yang dia kenakan.

"Benar kata Daddy, Dik. Tugasmu di sini hanya belajar, belajar dan belajar. Selesaikan semuanya dengan baik. Kami ingin datang ke sini lagi saat melihatmu berdiri bersama guru besar Oxford untuk menerima hasil studimu, sama seperti halnya dulu kami datang untuk Bang Hafizh," tambah Qiyya.

Hawwaiz menganggukan kepalanya.

"Ingatlah, laki-laki itu yang dipegang adalah janji sebagai komitmen keseriusannya atas semua hal. Jangan buat Daddy dan Bunda kecewa untuk kedua kalinya," tutup Ibnu sebelum suara announcer memanggil mereka untuk segera melakukan check in.

Hampa, tentu saja dirasakan Hawwaiz saat ini. menginjakkan kaki di London tapi dia harus merelakan hati melewatkan kesempatan bertemu dengan Vira. Janji hati yang sudah terpatri dan tak ingin mengingkarinya sekali lagi. Dalam benaknya membenarkan semua ucapan sang daddy. Kedewasaan yang dia miliki sekarang ternyata hanyalah sebuah proses karbitan yang justru akan terlihat semakin kekanak-kanakan jika dia harus tetap memaksakan diri untuk tetap maju sementara banyak ruang di belakang dirinya yang harus dia benahi terlebih dulu.

Dalam perjalanan pulangnya ke Oxford, Hawwaiz memilih untuk menyempurnakan time schedule yang kemarin dia buat secara garis besar. Outline kehidupannya harus kembali ditata dengan rapi supaya tidak ada celah yang membuatnya tergelincir kembali.

Kampus dan pekerjaan, dua hal yang kini dikejar oleh Hawwaiz. Jika dalam bekerja dikenal dengan sebutan workaholic mungkin sebagai mahasiswa Hawwaiz juga membabat habis pengetahuan yang seharusnya dikuasai sebagai seorang calon dokter. Kuliah, bekerja, belajar dan itulah rutinitas yang dijalaninya kini.

"Iz, santai sejenak yuk. Ada temen dari London kemari ngajak jalan. Mau ikut nggak?" Revan yang mulai menyadari perubahan Hawwaiz sejak sebulan terakhir mengajak hang out.

"Siapa, Indonesian?" jawab Hawwaiz.

"Iya, anaknya temen bokap. Temanilah, cewek dia. Nggak enak sendirian." Revan menutup buku tebal di pangkuan Hawwaiz.

"Nggak enak kasih ke kucing aja, repot amat." Hawwaiz berdiri untuk meletakkan kembali buku yang baru saja dia baca ke tempat semula.

"Hei, whats up, Bray? Ngegas gitu. Satu bulan belakangan ini aku perhatikan kamu cuma ngampus, kerja, belajar, nggak ada ritme kehidupan yang lain. Santailah, refresh, otak juga butuh nutrisi yang segar-segar." Revan mulai menarik lengan Hawwaiz supa mau ikut bersamanya.

"Kerjaanku juga santai, Rev. Bahkan bisa dikatakan itu refreshing yang menghasilkan, insyaAllah." Hawwaiz tersenyum tipis memilih mengambil buku lain yang tidak kalah tebal dari sebelumnya.

AORTAWhere stories live. Discover now