13 | Kamar Mas Ranu

49.6K 8K 82
                                    


“Kak.”

“Hm?” gumamku tanpa mengalihkan pandangan. Aku terlalu fokus membaca rentetan chat di grup kelasku.

“Besok jalan, yuk!”

Aku yang bersandar di kepala ranjang menoleh ke arah Lili. “Jalan ke mana?”

Lili membuka botol kaca di atas meja rias, mengeluarkan isinya dan menepuk-nepuk lembut di seluruh wajahnya, “Ke mana gitu. Bosen di rumah terus.”

“Ajak temen kamu,” kataku sengaja memancing. Aku ingin tahu apa yang terjadi tadi sore.

“Tadi aku rencana mau jalan sama temen aku. Eh, tiba-tiba mereka bilang nggak bisa,” curhat Lili cemberut.

“Yang lain?” tanyaku meletakkan ponsel di nakas.

“Nggak banyak yang mau temenan sama aku, Kak.”

“Lho? Kenapa?”

“Mereka nggak suka sama aku.” Lili menunduk, air mukanya berubah seketika.

Aku diam. Sepertinya keingintahuanku adalah pilihan salah.

Lili menghela napas panjang, “Mereka bilang aku nggak bisa apa-apa. Selain kaya, nggak ada hal yang bisa aku banggain.”

Aku menatap Lili tidak percaya. Astaga! Mulut anak zaman sekarang tidak disaring dulu. “Siapa bilang? Kamu cantik!”

Lili tersenyum kecut, “Mereka bilang aku cantik juga karena punya duit.”

Lagi-lagi aku diam. Bahkan orang yang dianggap Lili teman juga tidak benar-benar tulus. Menabrak dua ular itu ternyata tidak cukup, seharusnya ku tempeleng sekalian.

“Mereka itu kumpulan orang-orang iri.”
Lili mengangkat kepalanya.

“Mereka pengen ada diposisi kamu. Pengen cantik, pengen punya duit banyak. Tapi, nggak bisa.”

“Kak Sabi kok bisa ngomong gitu?” tanya Lili yang akhirnya tersenyum.

“Bisa, lah! Lagian kamu nggak perlu mereka. Aku, Mbak Retno, Diksi, Mas Ranu, udah lebih dari cukup menemani kamu,” ucapku bangga kemudian menepuk kasur di sampingku. Lili langsung menghampiriku dan duduk di tepi kasur.

“Kamu nggak perlu punya temen banyak. Kalau mereka nggak mau temenan sama kamu, ya nggak usah. Yang penting kamu nggak pernah jahatin mereka.”

“Jadi, besok kita jalan, kan, Kak?” tanya Lili dengan senyum lebarnya.

Ya, Tuhan. Penjelasan panjang lebarku tadi dimengerti tidak, sih? Aku ikut tersenyum getir. Lili itu polos, melihat bagaimana menyeramkannya teman Lili. Aku jadi tidak tega mengingat Lili setiap hari bertemu orang-orang yang tidak menerima kehadirannya, belum lagi teman yang memanfaatkan Lili.

“Iya, deh. Pulang kuliah, kita jalan.”

Yes! Kalau gitu, aku tidur duluan.” Lili mengambil posisi di sampingku, menarik selimut dan memejamkan matanya.

Good night, Kak,” gumamnya lagi.
Mungkin ada baiknya aku mengenalkan Dinda, Gilang pada Lili. Selain karena mereka berdua sudah terjamin kebaikan hatinya, aku ingin Lili merasakan punya banyak teman.

Aku berniat membaringkan tubuhku namun terhenti saat mataku tidak sengaja menangkap kacamata di atas meja rias. Lupa aku kembalikan ke Mas Ranu. Jam berapa sekarang? Aku menatap jam dilayar ponselku dan berpikir sekali lagi. Sebelas malam, ya? Biasanya jam segini lampu kamar Mas Ranu masih menyala. Apa tidak aneh jika kukembalikan sekarang?

Ahh! Bodo amat! Mumpung aku ingat. Aku mengambil kacamata Mas Ranu dan keluar dari kamar. Dengan hati-hati aku turun dari tangga. Aku tidak langsung mengecek kamar Mas Ranu, terlebih dahulu langkahku menuju ke dapur. Oke, kosong.

Aku berhenti di depan pintu kamar Mas Ranu yang sedikit terbuka. “Mas?”

Tidak ada jawaban dari dalam.

“Mas?” Aku membuka pintu perlahan dan.. kosong.

Kamar mandi juga tadi kosong. Atau Mas Ranu belum pulang? Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan melangkah masuk.

“Mas?” panggilku menghampiri ranjang. Siapa tahu Mas Ranu jatuh dari tempat tidur dan pingsan.

Tidak menemukan Mas Ranu, aku berjongkok dan mengintip bagian bawah tempat tidur. “Nggak ada,” gumamku.

Brak!

Aku tersentak mendengar bunyi pintu yang ditutup. Untung aku tidak punya riwayat jantung. Dengan sedikit emosi aku bangkit.

Mas Ranu menatapku kaget, “Kamu ngapain?”

Aku sama kagetnya. Iya, lah. Ini kayak pencuri yang tertangkap basah sama pemilik kamar.

“Mau kembaliin kacamata,” kataku meletakkan kacamata di atas tempat tidur.

Mas Ranu tersenyum amat tipis, “Buat kamu aja,” lalu menghampiri tempat tidur. Aku yang ada di seberang segera menggeleng.

“Kenapa?” tanya Mas Ranu meletakkan tas jinjingnya di atas tempat tidur.

“Aku bisa beli sendiri.”

“Ohh,” Mas Ranu mengangguk-angguk, “Ya udah.”

Wah! Mas Ranu sudah kembali ke mode normal. Aku bersyukur. “Aku balik ke atas kalau gitu.”

Sekali lagi Mas Ranu mengangguk mengantar langkahku menuju pintu. Baru saja tanganku menggapai gagang pintu, suara ketukan di luar sana membuatku membeku.

“Mas, udah pulang?”

Itu Diksi! Teriakku dalam hati dan langsung berbalik ke arah Mas Ranu.

“Kenapa nggak jadi keluar?” tanya Mas Ranu enteng setelah sampai di hadapanku.

Aku menempelkan jari telunjukku di depan bibirnya, “Sstt! Jangan keras-keras, nanti Diksi denger,” bisikku.

Ketika Mas Ranu diam, aku menarik tanganku.

“Kamu nggak keluar?” tanya Mas Ranu, kali ini dengan suara pelan.

“Enak aja! Diksi bisa salah paham kalau aku keluar dari sini.”

“Mas, boleh masuk nggak nih?” Suara Diksi terdengar lagi.

Tangan Mas Ranu terulur cepat mengunci pintu, aku sampai membeku karena tubuh kami yang hampir menempel.

“Nggak boleh!” jawab Mas Ranu.

“Yaelah, gue mau pinjem laptop. Bentar doang, Mas.”

Jantungku, tolong jangan bertalu-talu seperti itu. Nanti Mas Ranu dengar, biasa panjang urusannya. Aku tidak mau ini orang kegeeran. Aku mengambil langkah menjauh ke samping dan memberanikan diri mendongak, menatap Mas Ranu yang tak kunjung menjawab Diksi.

“Bentar!” jawab Mas Ranu namun matanya membalas tatapanku.

Jantungku normal kembali saat Mas Ranu menjauh. Mengambil laptop dari dalam tasnya. Eh, tunggu! Bagaimana caranya Diksi ambil laptopnya? Bisa-bisa Diksi melihatku di dalam sini.

“Kamu sembunyi di belakang pintu,” bisik Mas Ranu.

Sesuai perintah, aku menempel ditembok sementara Mas Ranu membuka pintu. Kedua tanganku terangkat membekap mulutku sendiri. Takut tiba-tiba aku bersin atau batuk kayak di sinetron-sinetron itu.

“Nih!”

“Nanti gue balikin, Mas.”

“Nggak usah, besok aja.”

Oke.”

Mas Ranu menutup pintu. “Aman.”

Malam ini, aku selamat dari fitnah.


🍡🍡🍡


Karena ini masih permulaan, jadi jangan ngarep dulu ada kiss kiss nya😂

Oke, guys?

Terima Kos Putra Putri [END]Where stories live. Discover now