4 | Tidak Baik

57.3K 9.1K 1.1K
                                    

Hampir saja teriakanku lolos. Aku selalu lupa kalau sekarang aku tidak tinggal sendiri. Diksi tersenyum setelah menandaskan air dalam gelas. Ini, nih, penyebab jantungku disko pagi-pagi.

Aku berjalan melewati Diksi, membuka kulkas dan mengambil sebotol air dari dalam sana. "Mau kemana lo?" tanyaku kemudian duduk di kursi meja makan.

"Cari sarapan, mau ikut?"

Boleh juga. Akhir-akhir ini, aku selalu sarapan telur dadar. Kalau rajin, ya, lanjut bikin nasi goreng sekalian. "Mau cari di mana?"

"Keliling-keliling aja Sab, ntar di jalan baru pilih mau yang mana."

"Ya udah, gue ambil jaket dulu," aku pamit kembali ke kamar.

Beres mengganti celana dan memakai sweater. Aku turun menyusul Diksi yang sepertinya menungguku di luar.

"Ayo!" Diksi sudah siap di atas motornya.

Pilihan kami jatuh pada penjual bubur ayam. Mungkin rasanya juga enak karena banyak yang mengantri. Aku turun dari motor lalu mengintip gorengan pelengkap bubur ayamnya nanti. Bakwan, tempe goreng, tahu goreng, perkedel jagung. Aih, aku mau semuanya!

"Itu Mas Ranu, bukan?"

"Hah?" Aku berbalik ke belakang, "Mana?"

Diksi yang berdiri di belakang memegang kedua pundakku kemudian mengarahkan tubuhku ke penjual bubur ayam.

"Mana?" tanyaku lagi. Mataku belum menangkap sosok Mas Ranu.

"Yang pake kaos abu."

Aku menyipitkan mata, laki-laki yang dimaksud Diksi baru saja menyerahkan selembar uang. Setelah menerima kembalian, laki-laki itu berbalik dengan dua plastik kresek ditangannya.

"Mas!" panggil Diksi.

Mas Ranu berhenti, tepat di samping kami yang masih mengantri.

"Banyak banget, Mas," sahut Diksi.

Kalau tidak salah, ada lima kotak stayrofoam dalam plastik bening itu. Cukup jika Mas Ranu bermaksud membaginya.

"Buat kalian," ucap Mas Ranu.

"Wih, serius Mas?"

Mas Ranu mengangguk. Yang pasti, tidak dengan tersenyum.

"Ya udah, pulang yuk Sab," ajak Diksi dengan mata berbinar.

"Gue mau beli gorengan dulu."

Diksi mendesah kecewa.

"Mas Ranu duluan aja," kataku tersenyum tipis. Ingat, ya? Ini karena uangmu jadi aku masih sudi senyum-senyum begini.

Tanpa sepatah kata pun, Mas Ranu berlalu dan pergi bersama mobilnya. Aku mendesakkan lidah, ternyata ada makhluk seperti itu dimuka bumi ini. "Lo pernah liat Mas Ranu senyum?"

"Nggak pernah. Dia kalau liat gue kayak ngajak gelut," jawab Diksi membuatku terkekeh pelan.

"Muka lo ngeselin, sih," ucapku bercanda.

Sesampainya di rumah, aku dan Diksi bergegas ke dapur. Sedari tadi perut kami saling menyahut minta diisi. Dimeja makan, Mas Ranu duduk berdampingan bersama Lili. Aku ikut duduk lalu menarik satu kotak bubur ayam di tengah meja. Sementara Diksi sedang mengambil piring sebagai wadah gorengan panas yang membuatku menunggu lama disana.

"Nggak ada yang bangunin Mbak Retno?" tanya Diksi.

"Mbak Retno bangunnya agak siang, pagi-pagi dia nggak bisa diganggu," jawabku cepat takut Diksi segera melesat ke lantai dua.

Terima Kos Putra Putri [END]Where stories live. Discover now