6 | Kondangan, gandengan

52.6K 8.5K 355
                                    

Aku benar-benar berangkat ke pernikahan Feby sendirian. Iya, sendiri. Gara-gara Gilang sialan! Kemarin aku memintanya meminjam mobil Dinda dan menjemputku sekalian. Gilang mengiyakan lalu tepat sejam sebelum aku berangkat, dia bilang ingin memakai motor. Alasannya? Biar cepat katanya.

Biadab!

Selesai mengeluarkan sumpah serapah lewat telepon, aku kembali harus memperbaiki riasan mataku karena sedikit menangis. Oh, aku bukannya cengeng. Tapi kalian tahu, lah, rasanya. Ini sama seperti seseorang yang membatalkan janji padahal persiapan kalian hampir 100%.

Aku sempat berpikir tidak usah pergi sekalian. Tapi dimenit berikutnya ku urungkan. Feby itu satu-satunya perempuan lemah lembut dikelasku, tidak pernah buat masalah, tidak punya musuh, baik. Tidak ada alasan untuk tidak hadir di penikahannya.

"Makasih, Pak," ucapku lalu turun dari taksi online.

Sekarang apa? Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Sebagian besar tamu undangan perempuan bergelayut di lengan pasangannya dan sebagian lainnya datang berkelompok. Apa aku harus menjadi satu-satunya yang datang seorang diri?!

Aku mengeluarkan ponsel dari tas tanganku. Aku harus menghubungi siapapun agar tidak kesepian seperti ini.

"Sabrina?"

"Hah?" Aku menoleh cepat ketika suara tak asing menyambar telingaku.

Mas Ranu dengan setelan batik! Hampir saja aku memekik saking senangnya. Tanpa mengalihkan pandanganku dari Mas Ranu, aku kembali menyimpan ponselku. Menemukan orang yang ku kenal diantara lautan manusia, bukannya ini patut disyukuri? Meski orang itu adalah Mas Ranu. Untuk kali ini, aku akan melupakan betapa kakunya seorang Mas Ranu.

"Sendiri?"

Aku mengangguk semangat, menatap Mas Ranu berbinar. Tolong jadikan aku partner kondanganmu Mas!

"Ohh.."

Cuma itu? "Mas Ranu sendiri?"

"Nggak, tadi bareng temen kantor yang lain."

Aku tahu calon Feby bekerja disalah kantor besar tapi tidak tahu menahu calonnya sekantor dengan Mas Ranu.

"Kalau gitu pas!"

"Apanya?"

"Kita naik panggungnya bareng, ya, Mas. Aku kek anak hilang kalau sendirian," pintaku minta dikasihani.

Tidak ku sangka Mas Ranu mengangguk tanpa pikir panjang, "Boleh."

Mas Ranu berjalan pasti menuju tempat kedua mempelai dan aku mengekor di belakangnya. Tidak ada antrian panjang karena Feby hanya mengundang orang terdekatnya.

"Mas Ranu kenal calonnya Feby udah lama?" tanyaku setelah berhasil menyamai langkah panjangnya.

"Bukan calon."

Aku mengernyit sejenak, "Ahh, iya, suaminya Feby," ralatku cepat.

"3 tahun, mungkin."

Aku mengangguk samar, lama juga.

"Kenapa?"

Mas Ranu menunduk menatapku dan disaat yang sama aku menoleh lalu sedikit mendongak. Aku menggeleng kemudian menjawab, "Nggak apa-apa, nanya aja. Daripada kita diem kayak orang nggak kenal."

Kembali ku arahkan pandangan pada kedua tokoh utama malam ini. Aku tidak perlu menunggu jawaban Mas Ranu karena laki-laki itu pasti tidak akan berinisiatif menanyakan apapun padaku.

Mas Ranu menaiki tangga panggung duluan. Dan saat itu tangan Mas Ranu terulur. Beberapa detik aku terpaku, bingung sekaligus terkejut. Ini benar-benar Mas Ranu, kan?

Tanganku menggapainya perlahan dan menaiki tangga satu persatu.

"Hati-hati," sahut Mas Ranu.

"Makasih, Mas.."

Kenapa mukaku jadi panas?

***

Tanganku ditarik kuat menuju toilet. Depan toilet tepatnya. Mungkin Gilang bermaksud masuk sekalian tapi kelaminnya tidak memungkinkan.

"Gila Sab! Sumpah, cowok yang tadi naik ke panggung bareng lo ganteng parah. Itu siapa?" tanya Gilang menggebu-gebu.

"Anda siapa? Emang kita kenal?" Jujur, aku masih sakit hati ke Gilang.

"Sorry, sorry. Gue sengaja biar lo nggak punya pilihan selain ngajak gebetan atau cowok yang ngekos di rumah lo."

"Alasen lo," kataku sinis.

"Tapi, gue berhasil, kan? Yang jadi pertanyaan, itu siapa?"

"Pacar gue. Puas lo?"

Gilang menyipitkan matanya, "Cih, lo pikir gue percaya?"

"Ya lagian, lo mau tau banget tuh cowok siapa."

"Iya, lah! Cowok yahud begitu nggak boleh dianggurin!"

"Lo belum tau aja tuh cowok gimana."

"Dia kenapa?" tanya Gilang semakin tertarik. "Ganas, ya?"

"Heh! Sembarangan."

"Sabrina!"

Itu suara Mas Ranu! Aku berbalik dan menemukan Mas Ranu yang berdiri tak jauh dari posisiku dan Gilang.

"Wah, pahatannya sempurna Sab," gumam Gilang penuh rasa kagum.

"Iya, Mas?"

"Mau pulang bareng?"

"Gue penasaran, dia punya roti sobek apa nggak?"

Aku menyikut perut Gilang lalu tersenyum kearah Mas Ranu, "Boleh, Mas."

"Kalau gitu, aku tunggu di luar."

Sekali lagi aku menghantam perut Gilang dengan sikuku kemudian melesat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ini bukan karena aku takut Mas Ranu mendengarnya tapi karena aku juga mulai berfantasi tentang tubuh Mas Ranu yang cukup atletis.

Duh, gawat!

🍞 🍞 🍞

Terima Kos Putra Putri [END]Where stories live. Discover now