9 | Ajakan Diksi

48.7K 8.1K 176
                                    


“Temen Kak Diksi nggak ada yang ganteng,” bisik Lili.

Aku menoleh pelan, “Jadi, tujuan kamu ke sini karena pengen cuci mata?”

Lili terkekeh geli, mungkin malu karena aku bisa tahu. “Nggak kok, kak.”

“Terus apa coba?”

Bukannya menjawab, Lili justru berdiri dari bangku panjang yang kami duduki dan bersorak semangat, “Ayo kak! Semangat!”

Aku mengikuti arah pandang Lili dan ternyata sesuatu yang seru memang sedang terjadi. Diksi menggiring bola membuat rambut gondrongnya berkibar-kibar.

“Awas kak!” teriak Lili lagi.

Penonton lain di pinggir lapangan memandang aku dan Lili. Seharusnya aku bawa topi, kalau begini aku tutup mukaku pakai apa?

“Yah! Nggak gol,” desah Lili kecewa. Pantatnya kembali ia dudukkan di bangku.

“Kasih semangat juga dong, Kak. Biar Kak Diksi semangat.”

“Kamu udah lebih dari cukup, Li,” kataku tanpa melepaskan mata dari bola yang terus digiring ke sana ke mari.

“Kak Sabi tuh beda, hehee..”

“Maksudnya?” tanyaku menoleh dengan kening berkerut.

Lili terdiam sejenak, “Pokoknya teriak aja, Kak.”

Selama pertandingan Lili tidak henti-hentinya memberi semangat. Sementara aku tetap duduk diam berusaha mengerti permainan di depanku ini. Sebenarnya sih seru, tapi entah kenapa aku tidak begitu suka.

“Kak,” panggil Lili.

“Kenapa?”

“Aku mau angkat telepon dulu.”

Lili segera keluar setelah aku mengangguk. Tidak lama setelah Lili keluar, pertandingan berhenti dan Diksi bersama teman-temannya yang lain menghampiriku.

“Udah kelar?” tanyaku sambil menyerahkan sebotol air mineral.

“Belum, istirahat dulu,” jawab Diksi lalu duduk di sampingku.

“Ohh.."

“Kenapa? Bosen?” tanya Diksi setelah menghabiskan setengah isi botol.

Aku mengedikkan bahu, “Lumayan,” jawabku jujur disambut gelak tawa Diksi.

“Kayaknya ada yang bahagia banget ditemenin pacar.”

Aku mencari sumber suara yang tak jauh dari tempat kududuk. Teman-teman Diksi yang lain duduk melantai.

“Bukan pacar,” ralatku tak ingin mereka salah paham.

“Ohh masih gebetan ternyata,” katanya lagi.

Kalau begini, aku jadi malas meladeni mereka.

“Nggak usah didengerin, ngomong-ngomong Lili mana?”

“Keluar, angkat telepon katanya.”

Diksi meneguk airnya lagi hingga tandas, meremuk botolnya dan melemparnya ke dalam tempat sampah yang tak jauh dari tempat kami duduk. Saat itulah aku bisa melihat sosok Mas Ranu masuk bersama Lili. Aku menyipitkan mata, mungkin aku salah orang. Tapi semakin dekat, laki-laki itu makin mirip Mas Ranu.

“Kenapa Sab?”

“Itu Mas Ranu?” tanyaku masih menatap Lili dan laki-laki mirip Mas Ranu itu.

“Mana? Oh! Iya, Mas sini!” teriak Diksi melambaikan tangannya.

Lili berlari kecil menghampiri kami dengan senyum yang tak bisa ia tutupi. Sementara Mas Ranu setia berjalan santai, tak lupa wajahnya yang tetap datar.

Terima Kos Putra Putri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang