8 | Taruhan

50K 8.3K 627
                                    

Malam ini rumahku sepi. Lili belum menunjukkan tanda-tanda pulang sejak kemarin. Mbak Retno? Oh jangan tanya. Kamar adalah tempat ternyaman baginya. Sementara Mas Ranu dan Diksi juga belum pulang. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Yang penting mereka bayar, mau kemanapun juga aku tidak peduli.

Fokusku teralihkan sepenuhnya begitu layar TV di depanku memperlihatkan rider MotoGP mulai tancap gas. Ini tontonan yang tidak pernah ku lewatkan tiap tahun. Aku ingat. Dulu sekali, mungkin saat aku masih duduk di bangku SD. Aku paling sebal pas Papa ambil alih remote padahal lagi asyik-asyiknya nonton sinetron Kepompong. Mau mukaku bagaimana juga Papa tetap nonton dan minta aku ikut nonton.

Mungkin karena itu juga, lama kelamaan aku mulai suka MotoGP. Bahkan saat SMA aku yang lebih sering mengingatkan Papa tentang jadwal MotoGP.

Aku melirik sekilas ketika pintu terbuka lebar. Mas Ranu. Ku pikir laki-laki ini akan berlalu dan masuk ke kamarnya. Diluar dugaan, Mas Ranu justru duduk di sampingku. Menyandarkan punggung sambil membuka dua kancing teratas kemejanya. Mau apa dia?

“Aku mau nonton.”

“Oh..” sahutku sengaja duduk bersila sembari menjauhkan posisiku darinya.

“Baru kali ini, ada cewek yang suka nonton MotoGP.”

Aku tidak menoleh, “Banyak kok, Mas aja yang nggak pernah ketemu.”

Dari ujung mataku, bisa kulihat Mas Ranu mengangguk samar. Tapi ada satu yang aneh. Atau mungkin penglihatanku yang salah tapi Mas Ranu sepertinya tersenyum. Dilandasi rasa penasaran, akhirnya aku menoleh cepat dan benar! Walaupun sangat tipis, Mas Ranu jelas-jelas tersenyum. Satu yang membuatku sulit berpaling, lesung pipinya. Dalamnya minta ampun padahal Mas Ranu tidak memaksakan senyumnya.

“Kenapa?” tanya Mas Ranu ikut menatapku.

“Ternyata Mas Ranu bisa senyum juga,” kataku tanpa sadar.

“Kamu mau taruhan nggak?”

“Hah?”

“MotoGP.”

Keningku bergelombang. Belum mengerti.

“Taruhan siapa yang naik podium di race kali ini. Soalnya Marquez yang sering dapet podium pertama nggak ada, jadi banyak kesempatan buat rider lain.”

“Ohh, hm boleh deh,” balasku sedikit canggung. Baru sadar kenapa aku bisa-bisanya terhipnotis sama lesung pipi?

“Mau taruhan apa?” tanyaku setelah kembali menatap layar TV.

“Siapapun yang kalah, harus turutin apa yang diminta pihak yang menang.”

“Apapun?”

“Iya.”

Hmm boleh juga. Aku bisa minta Mas Ranu bayar sewa dua kali lipat.

“Gimana?”

Oke! Deal!” seruku menjabat tangan Mas Ranu.

“Kamu pilih siapa?”

“Quartararo!” jawabku yakin. Sejauh ini rider 21 tahun tidak begitu mengecewakan. Meskipun Minggu kemarin tidak naik podium, aku yakin kali ini pasti bisa.

“Yakin?”

“Yakin, lah. Kalau Mas Ranu siapa?”

“Dovi,” jawab Mas Ranu tak kalah mantap.

Aku dan Mas Ranu tenggelam dalam keseriusan menyaksikan aksi salip menyalip antar rider. Mungkin setengah jam berlalu, kecelakaan hebat membuatku terpekik tak percaya. Zarco dan Morbidelli keluar dari race. Sementara kedua motornya kompak terpental kembali ke dalam lintasan. Hampir menghantam Rossi dan Vinales. Aku sampai menganga saking terkejutnya.

Terima Kos Putra Putri [END]Where stories live. Discover now