12 | "Temen" Lili

48.6K 7.9K 197
                                    


Mas Ranu mabuk. Iya, pasti. Tidak mungkin laki-laki itu berubah drastis hanya dalam satu hari. Aku terus meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi semalam di luar kehendak Mas Ranu. Apalagi kalimat terakhir yang Mas Ranu ucapkan. Astaga! Mengingatnya saja membuatku merinding.

“Tumben lo telat bangun.”

Aku meletakkan gelas di atas meja kemudian berbalik. “Semalam begadang.”

Diksi menyugar rambutnya sambil mengangguk pelan lalu duduk di sebelahku.

“Yang lain mana?”

“Lo nyari siapa siang begini? Mas Ranu ke kantor, Lili sekolah, Mbak Retno tadi keluar.”

Aku meringis, baru sadar mengajukan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

“Laper nggak?”

Melewatkan sarapan dan sekarang jam duabelas siang. Siapa yang tidak lapar? Aku mengangguk.

“Kita makan di luar, mau nggak?” ajak Diksi.

“Boleh,” jawabku. Aku tidak punya alasan menolak.

Diksi bilang, di sekitar kantor Mas Ranu ada tempat makan yang enak. Entah Diksi tahu dari siapa, aku juga tidak ingin bertanya. Rasa laparku membuat kepalaku hanya terus mengangguk dan membiarkan Diksi membawaku ke mana pun. Aku turun dari motornya dan menyerahkan helm.

“Biar gue yang pesen, lo duduk duluan.”

Lagi-lagi aku mengangguk. Aku masuk tanpa menunggu Diksi dan mulai mengedarkan pandangan. Mungkin karena masuk jam makan siang, hanya ada dua meja yang kosong. Aku memilih duduk di meja pojok belakang.

“Lo sering makan di sini?”

“Ini pertama kali,” kata Diksi.

“Belum terjamin dong,” ucapku pelan. Takut ada yang dengar.

Diksi mencondongkan tubuhnya ke depan, “Kalau nggak enak, lo protes sama Mas Ranu.”

“Kenapa?” tanyaku mengernyit.

“Soalnya, kan, Mas Ranu yang rekomendasiin tempat ini.”

Oh! Iya, ya. Aku lupa, mungkin karena terlalu lapar. Otakku jadi lemot begini. “Eh, tapi. Lo kok bisa ngobrol sama Mas Ranu? Bukannya kalian belum deket?”

“Belum, sih. Tapi nggak tau juga, kemarin kita ngobrol ngalir aja gitu.”

“Masa, sih?”

Diksi mengangguk cepat, “Sumpah!” lalu menaikkan jari telunjuk dan tengahnya ke udara.

Dugaanku ternyata benar. Mas Ranu mabuk, tidak salah lagi. Sayangnya, pembicaraan kami harus terhenti karena dua porsi tongseng sudah tersaji di atas meja. Aku yang sibuk meracik tongseng dalam mangkuk baru mendongak saat seseorang berdiri disisi meja tempatku dan Diksi.

“Eh? Mas, kebetulan. Mau makan di sini?”

Padahal orang yang paling tidak ingin aku temui hari ini adalah Mas Ranu. Eh, malah ketemu di sini. Dari banyaknya tempat makan, kenapa harus di sini! Aku memaksakan ujung bibirku terangkat, kembali menunduk membiarkan Diksi yang mengajaknya bicara.

“Iya.”

“Duduk, Mas.”

“Ben! Ini masih ada kursi kosong.” Mas Ranu kemudian duduk di sampingku.

Laki-laki yang namanya Ben ini, entah kenapa wajahnya tidak asing. Aku pernah lihat tapi di mana?

“Suaminya Feby,” sahut Mas Ranu.

Aku menoleh sekilas dan langsung mengulurkan tangan ke depan, “Temennya Feby, Mas. Maaf aku lupa-lupa ingat tadi.”

Mas Ben menerima uluran tanganku, “Ben. Nggak apa-apa.”

Terima Kos Putra Putri [END]Where stories live. Discover now