"Why am I such a miserable person? Ngga ada yang berjalan baik dalam hidup orang yang seperti ini."
Kalimat itu terucap sangat yakin setelah menutup cerita. Tatapannya masih penuh amarah, sedih, dan kecewa. Pikiran masih saling berebut ingin keluar, namun bibir menahan.
"Memangnya ada yang pernah bilang seperti itu ke kamu? Bahwa kamu adalah orang yang miserable."
Kerutan di alis perlahan meregang. Bahu menurun. Dia sadar hanya satu orang yang berkata demikian; Dirinya sendiri.
Sang dokter tersenyum. Dokter cukup mengenalnya untuk bisa membaca setiap celah. "Kalau kamu sendiri sudah menganggap diri kamu orang yang buruk, gimana orang lain bisa yakin kamu adalah orang yang baik?"
Di dalam kepala, semua terasa nyata. Bayang-bayang kepergian, ditinggalkan, diabaikan, semua kembali dalam waktu yang sama. Hingga dia yakin bahwa dia tak pantas menerima cinta.
"Mungkin karena aku ngga layak untuk menerima cinta." Tarikan napas itu terasa sesak di setiap memori yang berputar. Tangannya saling meremas. Tundukan pandangan semakin dalam. "Kayaknya aku terlalu memaksakan punya hubungan yang normal. Dari awal dokter udah bilang pola aku bahaya. Aku pikir aku udah keluar dari situ, ternyata... ngga pernah keluar."
Sekilas dokter mengamatinya, sebelum mengangguk. "Menurut kamu, definisi hubungan normal itu apa?"
Hening memberinya ruang untuk berpikir. Dia bahkan tak yakin dengan definisi normal yang dia sebutkan. "Menurutku... yang saling mencintai, terbuka, dan punya komunikasi yang bagus." Jawaban terbaik yang bisa dia sampaikan.
"Kamu berhasil melakukan itu?"
"Kalau berhasil aku ngga kesini, Dok."
Dokter mengangguk lagi. "Pasti sesuatu terjadi cukup berat ya untuk akhirnya kamu ke sini. Kamu udah melakukan apa untuk membuat kamu merasa lebih baik?"
"Aku buang semua yang bisa nge-trigger. Aku ubah penampilan dan mencoba sesuatu yang ngga pernah aku coba. Tapi pada akhirnya aku tetep gagal. Aku bahkan masih bisa nangis-nangis untuk minta dia balik. Setelahnya aku menyesal. Pasti dia ngelihat aku cewek yang ngga baik."
Suara pendingin ruangan terasa menyetujui ucapannya barusan. Udara terasa mencekat di tenggorokan.
Sementara Dokter terus menulis. Pena diangkat. Kertas dibalik. Dua pasang mata di ruangan 4x5 meter dengan nuansa pastel ini bertatapan sejenak sebelum dokter tersenyum untuk kesekian kali sejak dia menduduki kursi.
"Erin, kamu tau ngga kenapa ada istilah kita harus mencintai diri sendiri, baru mencintai orang lain?"
"Aku udah cukup mencintai diri aku sendiri, Dok."
"Dengan cara apa?"
"Aku rawat diri aku dengan baik. Head to toe." Erin sekilas mengangkat kedua tangannya ke atas.
Senyuman dokter melebar. Lalu sedikit memajukan badan dan menggeser kertas untuknya. "Good job, then. Sekarang kita rawat hal yang kamu sering abaikan, ya. Luka yang ngga sempat kamu lihat atau bahkan kamu ngga tahu kalau dia masih terbuka lebar dan meradang."
Erin membaca kertas di hadapannya. Tersegel rapih dengan tanda tangan dan cap hingga terkesan mengikat. Lantas dia menarik napas panjang. Hal yang tak ingin dia ulang, terpaksa kembali dijalani. Ini jelas akan lebih sulit. Dan tentu saja, lebih sakit.
"Jadi... aku bisa mulai sesinya kapan?"
Dokter tersenyum teduh. "Semampu kamu untuk menerima rintangan baru. Take your time. Tenang aja, kamu ngga sendirian, kok."
•••
Author's Note:
Hi! Makasih udah tertarik bacaa hehe. Mau kasih peringatan lagi akan ada trigger warning di beberapa part. Akan ada penyebutan alkohol dan kesehatan mental juga. Udah aku kasih rate mature jadi diharapkan lebih bijak yaa
Segala hal yang ada disini adalah milik kreativitas penulis, jika ada kesamaan dalam bentuk apapun, semoga itu hanya sebuah kebetulan, jika ada kesalahan dalam teori apapun, itu adalah kekhilafan.
Dannn karena ini tulisan pertama, jelas masih banyak belajar. Jadi kritik dan saran sangat terbuka lebar dari segi apapun. Vote dan comment juga berarti banget hehe ☺️
Sekali lagi, makasih ya teman-teman. Semoga bertahan sampai akhir hehe.
Salam,
Ara
2020.
--
Haloooo reader In Between Us! Semoga kalian yang tertarik baca ini bisa betah sampai selesai yaa. Aku merevisi ini di 2025 penuh tantangan karena aku perlu masuk dalam dunia yang agak gelap di saat duniaku baik-baik aja hahaha. Tapi karena tulisan ini, aku jadi lebih bisa paham banyak hal terutama soal layering emosi manusia.
Cerita ini character driven, jadi mungkin agak berat kalau kamu punya pengalaman serupa (tapi pasti membekas!). Untuk kamu yang cari plot twist, disini ngga ada hehehe. Tapi kalau kamu mau tau bagaimana sebuah hubungan bisa jadi pintu paling besar untuk membuka sekaligus jalan untuk mengobati luka, hal yang berkaitan dengan psychological romance, hmmm bisa jadi kamu suka. Ku saranin bacanya pelan-pelan aja.
Semoga kamu bisa jalan dan healing bareng tokoh utama di sini ya sampai akhir! Terimakasih sudah tertarik membaca <3
Carnationinc, 2025.
YOU ARE READING
In Between Us
RomanceJeje hanya ingin dicintai tanpa merasa ditinggalkan. Said hanya ingin tenang tanpa harus kehilangan. Mereka bertemu tanpa sengaja, lalu berpegang terlalu erat tanpa rencana. Kadang manis. Kadang melelahkan. Tapi selalu ada sesuatu yang membuat merek...
