"Udah terima kasih belum Rum?"

Dikira aku anak kecil yang harus dibilangin dulu kali. Lagian kalau belum, dia mau apa? Menggantikanku untuk bilang terima kasih para Para? Lagian apasih tujuannya dia basa-basi begini. Aku yang mau tidur jadi engga bisa, karena ngantuknya sudah hilang sejak kedatangannya.

Akhirnya aku hanya menjawab, "Hm."

"Tapi, lo beruntung banget sih bisa ditolongin Kak Para. Dia emang baik, sih. Lo yang begini aja ditolong. Emang perfect banget. Engga mandang fisik ya. Idaman."

Monyet.

"Kemarin sempet rame loh, waktu Kak Para tiba-tiba nolongin lo. Soalnya emang keren sih ya Kak Para itu. Baik hati lagi. Jadi engga heran rame begitu."

Ini kapan selesainya sih?

"Tapi, ya, berita begitu engga booming yang sampe berhari-hari sih. Soalnya lo yang ditolong, Rum. Coba kalau Kak Nirisha, sebulan ada kali, gara-gara kejadian peluk-pelukan itu."

Peluk-pelukan my ass.

"Eh tapi by the way, lo kemarin waktu sempet meluk Kak Para, cium bau badannya dooong. Cerita dong Rum, enak engga? Terus itu dadanya sandarable engga sih?"

Aku meringis, "Tau deh. Lupa."

"Ih harusnya inget. Kan engga mungkin lagi-lagi lo peluk-peluk Kak Para."

"Iya."

"Ngapain lu di kursi gue?"

Aku mendongak dan menemukan Joan berdiri di samping kursinya yang ditempati Cika. Aku menatapnya berbinar-binar.

"Oh hi Jo. Ini gue lagi tanya kemarin Rumi kenapa bisa sama Kak Para."

Aku menatap lurus Joan, mengkodenya untuk segera mengusir Cika. Joan yang sedang menatapku juga, dan sepertinya menangkap kodeku berbicara. "Bisa pindah engga, Cik? Ngantuk nih gue, mau bocan."

"Eh... iya. Gue balik kursi gue ya, Rum," katanya sambil berdiri dan melangkah menjauh.

Bodooo amat! Aku engga perduli.

"Sumpah, pengin gue bogem si Cika. Anjir. Najis. Sok banget."

Aku akhirnya bisa memakinya. Setengah lega, karena engga memakinya langsung.

"Udehlah. Kayak engga tahu kelakuan dia aja," sahut Joan sebelum dia menelungkupkan wajahnya di meja dan tertidur.

Melihatnya, rasa kantukku yang tadinya hilang semenjak kedatangan Nyai itu muncul lagi. Apalagi ketika cowok-cowok di pojokan itu berganti menyanyi lagu melow, anthemnya ibu-ibu. Ituloh yang liriknya, "Andaikan malam yang sepi dapat bicara."

Aku lalu memposisikan tubuhku seperti tadi, dan berusaha untuk tertidur sejenak.

***

Kalau kamu penasaran apa yang terjadi setelahnya kemarin. Di mana aku mendapati sepasang tangan lagi-lagi menyentuh pinggangku, disusul hembusan napas di kepalaku. Aku akan ceritakan. Jadi begini.

"Aduh, permisi, permisi. Mau ambil makanan." Ucapku sambil tangan berusaha membelah kerubungan itu.

"Bu, aku nasi sama kikil dan sayur, di meja dua ya."

"Bu, mie gorengku kok belum jadi? Aku udah dari tadi."

"Ibu, aku mau bayar."

"Bu, aku juga udah dari tadi. Ketoprakku belum dianter-anterin."

"Bu, aku nambah es teh manis satu, cepetan ya Bu, mau masuk nih."

"Bu, aku duluan."

"Permisi, ya Allah, mau ambil makanan doang," kataku mau menangis sangkin suaraku engga digubris sama sekali. Aku kembali mencoba membelah lautan itu dengan menjulur-julurkan tangan. Berjinjit untuk melihat letak pesananku, sebelum tubuhku lagi-lagi membeku ketika kembali kurasakan sesuatu seperti dada seseorang menyentuh punggungku. Disusul hembusan napas di rambutku selama beberapa saat.

Aku yakin ini orang yang tadi.

Dengan cepat aku memutar badanku, tidak mau kecolongan, seperti melihat dia melarikan diri, tapi sayangnya... aku tergelincir!

Astaga. Drama banget hidupku.

Aku memejamkan mata, menunggu rasa sakit menerpaku ketika tubuhku terbentur keramik kantin, tapi nihil. Aku tidak merasakan apapun. Aku lalu menyadari ada sepasang tangan yang mengerat di pinggangku. Lagi. Menahan tubuhku agar aku tidak jatuh. Aku lalu membuka mataku, dan mendongak. Lagi dan lagi, aku tersentak, napasku seolah dihentikan paksa, ketika aku bertatapan dengan sepasang masa tajam yang dilindungi bulu mata dan alis yang lebat itu. Mata yang hanya dimiliki Bhadra Parasara.

Ya Tuhan, ketika aku ingin melihat betapa cantiknya mata, alis, dan bulu mata Para, bukan dengan cara begini aku melihatnya.

"Engga apa-apa?"

Jantungku sakit karena berdebar terlalu keras. Entah sebabnya aku kaget akan jatuh atau justru karena berinteraksi secara langsung dengan makhluk yang rasanya untouchable ini. Aku mengangguk pelan sambil masih menatapnya.

"Mau sampai kapan?"

"Hah?"

"Mau sampai kapan begini?"

Aku mengerjap sebelum menyadari bahwa kedua tanganku bersandar di dadanya, dan kedua tangannya mengerat di pinggangku, dengan kata lain... kami sedang berpelukan. Astaga. Segera aku melepaskan diri. Menatapnya kikuk.

"Em... terima kasih."

Dia tidak menyahut, hanya menatapku. Aku yang semakin canggung dan kikuk karena ditatap seperti itu, memilih untuk kembali ke meja yang tadi ku take. Tapi, belum selangkah, lenganku dicengkeram pelan. Aku menoleh, dan mendapati Para pelakunya.

"Makanannya?"

"Hah?"

Aku masih menunggunya untuk menjelaskan maksudnya, tapi yang kudapati ialah Para yang membelah lautan pengantri makanan Bu Karti. Aku masih menatapnya, ketika dia berbalik dan kembali menatapku dari posisinya berdiri, dan memberikan gestur agar aku mendekat dan mengambil makanan pesananku di meja.

Berpasang-pasang mata pengantri itu menatapku ketika aku bergerak perlahan bagai robot. Mengambil piring dan gelas pesananku. Aku lalu berbalik, bersiap menuju meja, hingga aku mendengarnya berujar lagi. "Hati-hati."

Aku hanya berjalan lurus, tiada menoleh ke belakang. Ketika aku duduk, dikonfrotasi Joan tentang kejadian barusan, yang terpikirkan olehku ialah kenapa aku tidak jadi memakinya (yeah, meskipun baru asumsi)? Malahan justru berubah menjadi idiot seperti tadi?

gimana gimana?

P.S  Jangan lupa vote dan komen ya (engga akan bosen untuk mengingatkan). Sangat berarti loh komen kalian untukku.

to be young and in love [end]Where stories live. Discover now