BAB 9: THE SEA OF FIREFLIES

Começar do início
                                    

"Kata orang-orang tua di sini, pulau ini masih bahagian dari jakarta bang."

"Tunggu, Pulau." Ardani terkejut. "Ini pulau?!"

Raka bingung. "Sebenarnya bang, ada yang hendak saya tanyakan."

"Tanya saja, silahkan."

"Sekejap setelah warga angkat abang ke rumah ini..." Raka agak Ragu. "Maaf bang, tapi tubuh abang tiba-tiba bercahaya, lalu menghilang."

Ardani terbelalak. Ia memandang Raka dengan ketakutan, sudut matanya basah, Ardani mengedipkan-ngedipkannya beberapa kali. Ternyata itu aturannya, dia tidak hidup di dua waktu, tubuhnya menghilang saat ia berangsur tidur atau pingsan. Pantas jika Ardani sering merasakan lelah, karena ia tak pernah benar-benar tidur.

Raka mengerti kebingungan Ardani. "Tidak usah di bahas bang, orang-orang di sini yakin, semua bisa terjadi bila alam menghendaki."

Akan tetapi, Ardani tetap tidak bisa berkata-kata. Dia terlalu terkejut. Dalam hatinya, ia menjerit sejadi-jadinya: Sebenarnya apa ini? KUTUKAN?

Selanjutnya, mereka berdua menikmati pergantian senja dalam diam. Tak satupun dari mereka mengucapkan sepatah kata.

Seperti halnya suasana pantai, angin berhembus kencang. Menyisir rambut Ardani yang mulai agak panjang. Membunuh uap yang mengepul dari secangkir kopi hitam. Membawa sebuah kenangan, juga kesedihan. Sekilas, ia teringat wajah orang tuanya, saat keramaian menelannya dalam sebuah labirin. Ardani seakan kembali menjadi dirinya yang berusia 9 tahun. Dirinya yang kehilangan orang tuanya.

Dia tidak tahu persis kejadiannya, yang jelas semenjak saat itu ia dibesarkan oleh paman dan bibinya. Mereka sudah menganggap Ardani sebagai anaknya sendiri, bahkan Ardani memanggil mereka selayaknya orang tua sendiri: Papa dan Mama.

Semakin lama mereka diam, Raka merasa semakin tidak enak. Akhirnya dia memutuskan untuk mengajak Ardani berkeliling.

"Ke mana?" Tanya Ardani.

"Di sini ada padang, padang rumput, biasanya jam segini banyak kunang-kunangnya."

Mereka berdua menuruni tangga rumah panggung. Melewati jalan setapak yang sebagian besar adalah pasir, tidak ada jalan yang di beton di sini.

Mereka melewati area pertanian. Cahaya dari rumah-rumah mulai meredup. Ardani hampir tidak bisa melihat jalan.

"Raka, kamu nggak bawa senter?" Protes Ardani.

"Ndak bang, kami ndak pernah pakai senter." Kata Raka, diikuti oleh tatapan heran Ardani. Kemudian Ardani menengok ke belakang, gelap, rumah yang tadinya terang hilang seketika, tertelan oleh gelap.

"Raka.."

"Kami ndak pakai listrik bang. Abang lihat rumah-rumah tadi bercahaya bukan dari lampu bang."

"Lalu?"

"Ketika kondisi alam masih seimbang, mereka menolong kita bang, ada hukum timbal-balik, kita menjaga alam, alam menjaga kita."

Ardani hampir tak bisa melihat Raka saking gelapnya.

"Lama-lama abang akan terbiasa, cahaya bulan lumayan terang malam ini." Tutup Raka.

***

Setelah berjalan cukup jauh. Mereka akhirnya sampai di sebuah ladang rumput yang luas. Raka benar. Ardani perlahan-lahan dapat melihat jelas dalam kegelapan.

Mereka duduk di padang itu. Beberapa kali angin memaksa Ardani memejamkan matanya.

"Tidak lama lagi bang." Ujar Raka semangat.

Tak lama kemudian, setitik cahaya muncul. Disusul oleh ribuan cahaya lain yang terbang secara acak. Mereka seakan membentuk sebuah timelapse alami, berputar-putar cepat. Cahaya-cahaya itu semakin terang seiring dengan matangnya malam.

Ardani tersenyum bahagia. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melihat hal seindah ini. "Raka, ini terjadi tiap malam?" Tanyanya dalam takjub.

"Tidak bang, malam ini purnama. Abang beruntung datang di waktu ini."

"Indah sekali."

"Benar bang, saya saja yang tinggal di sini dan berkali-kali melihatnya, masih saja takjub setiap melihat keajaiban ini bang."

Lalu, secara tiba-tiba. Cahaya yang sangat terang melintas di antara mereka. Membuat dua orang itu kaget bukan main, dan tertawa terbahak-bahak setelahnya.

Cahaya itu terangnya hampir 10 cahaya kunang-kunang lainnya.

"Apa itu, Raka?" Ardani benar-benar terbius dalam kekaguman.

"Raja kunang-kunang, oh ya bang, konon, raja itu sudah ada sejak nenek moyang saya terdampar di pulau ini."

"Kunang-kunang Abadi." Bisik Ardani sangat pelan sehingga hanya dianggap gumaman lalu oleh Raka.

BERSAMBUNG...

Legend of the Eternal FireflyOnde as histórias ganham vida. Descobre agora