BAB 9: THE SEA OF FIREFLIES

35 4 0
                                    

Jakarta, 12 Januari 1998

Ibu membereskan admistrasi, sementara Wulan menatap langit-langit rumah sakit. Memiringkan tubuhnya ke kanan, menghadap sepotong tirai yang membatasinya dengan perempuan itu. Hingga seorang suster datang.

"Hai, Selamat Pagi...Sebentar ya," kata suster itu sehangat mungkin. Dia mencocokan data dari papan yang dibawanya. "Nama kamu Luluk Eka Wulandari, panggilannya siapa?"

"Emm, Wulan aja sus."

"Baik, Wulan masing pusing?" Tanya Suster itu.

Wulan masih pusing. Tapi dia ingin pulang. "Sudah mendingan Sus." Tentu saja Wulan tidak bohong, pusingnya sudah berkurang ketimbang tadi pagi.

Suster itu mencentang tabel pada kertas beralaskan papan kecil yang dibawanya. Setelah beberapa pertanyaan. Suster itu membuka infus di tangan Wulan.

Sesaat setelah suster itu selesai, Ibu Wulan datang. "Ibu panggil Taksi ya? Ibu punya voucher"

Wulan menahan tawa. "Nggak Buk jangan, naik Bus aja."

"Kalau di Bus nanti sesak-sesakan, tangan kamu kan belum pulih."

"Tapi..."

"Udah ayo, sini Ibu bantu turun." Ibu mengulurkan tangan. Namun, Wulan malah melompat dari ranjang pasien.

"Ya ampun, WULAN!!!!"

Gadis itu tertawa. Lalu mengambil buah di atas laci. Berjalan ke bilik sebelah, dimana perempuan itu terbaring. Perempuan itu memakai baju rumah sakit, rambutnya hitam dan panjang, tergerai berantakan laksana akar tanaman menjalar.

"Hai..." Wulan mengangkat tangannya, menyapa.

Tidak ada jawaban. Wulan mendekat.

"Namaku Wulan_"

"Udah denger tadi." Potong perempuan itu. Dia pasti mendengarnya dari suster tadi.

"Maaf ya ganggu, aku ada sesuatu untukmu." Wulan mengangkat keranjang buah itu. Tersenyum.

Perempuan itu mendengus. "Jangan sok asik, bawa pulang buah itu."

Meskipun reaksinya tidak menyenangkan, tetapi batas kesabaran Wulan masih jauh di atas langit. Dia masih terlihat tenang.

"Aku tinggal di atas meja ya, cepet sembuh." Ujar Wulan, tersenyum lebar.

Sebelum pergi, Wulan membaca nama di ranjang perempuan itu. Clara Alysia Anggun.

Jakarta, 12 Januari 2020

(Keanehan Muncul)

Hari menjelang malam. Ardani duduk di teras rumah. Semua rumah di sini, seperti layaknya daerah pesisir di utara indonesia, semuanya terbuat dari kayu dan berbentuk panggung. Debur ombak mengalun bersama gemerisik daun kelapa. Ardani bertanya-tanya, apakah buah itu telah sampai di tangan sang gadis.

Aroma kopi menguar, Raka menjulurkan secangkir kopi. "Silahkan bang, kopi khas daerah sini bang, tiada duanya."

Ardani menyambut gelas itu. "Terima kasih."

Kemudian Raka duduk di sebelah Ardani.

"Asal bang dani dari Ibu kota kah?" Tanya Raka, membuka pembicaraan.

"Iya, mas Raka.."

Raka tersenyum. "Panggil saja Raka bang, abang kan lebih tua dari saya."

"Raka, kamu bilang ini masih wilayah Jakarta, kok saya nggak pernah dengar ya, logat kamu juga agak ada melayu-nya."

Legend of the Eternal FireflyWhere stories live. Discover now