TUJUH

811 81 0
                                    

Bayangan saat aku masih kecil bermanja pada Aba, masih melekat dalam ingatanku. Semua masih tersimpan rapi dalam memori di kepalaku. Tapi kini hanya tinggal kenangan yang tersisa. Umi pergi. Aba pergi. Aku sendiri. Dua orang terpenting dalam hidupku pergi untuk selamanya. Aku sebatang kara. Tak ada lagi tempat bersandar, mengeluh, mengadu, kecuali Allah.

Air mata masih terus mengalir mengiringi kesedihan yang kurasa. Tangis kedua yang tak henti setelah kepergian Umi. Begitu berat jalan hidup yang harus kutempuh tanpa Umi dan Aba.

Ya Allah, apa aku sanggup menjalani semua ini sendiri? Engkau panggil kedua orang yang sangat berarti dalam hidupku. Kenapa?

"Ra, pulang, yuk." Kudengar Rizki mengajakku pulang.

Aku menggeleng, masih menatap makam Aba yang basah bertaburan bunga di atasnya. Aku masih enggan untuk meninggalkan tempat ini. Enggan berpisah dari sisi Aba.

"Udah mulai panas, Ra. Kamu belum tidur dari kemarin. Kamu belum makan. Kamu juga belum mandi." Rizki mengingatkan.

"Aku masih mau di sini, Ki. Kamu kalau mau pulang, pulang saja sana. Aku bisa pulang sendiri." Aku membalas dengan nada serak.

"Aba kamu pasti sedih lihat kamu kayak gini. Kamu harus ikhlas. Aba sudah enggak nahan sakit lagi." Rizki menambahi.

Aku terdiam. Ucapan Rizki menyadarkan aku. Aku astagfirullah.

Aku beranjak dari atas tanah, seketika tubuhku limbung, tapi Rizki sigap menopang tubuhku. Aku dibantu Rizki agar berdiri tegap. Pandanganku kembali pada makam Aba. Berat untuk meninggalkan tempat ini, tapi aku tak boleh seperti ini terus. Kakiku perlahan melangkah untuk meninggalkan pemakaman. Suasana pemakaman sudah sepi setelah Aba dikebumikan.

♡♡♡

Aku tak tahu harus berbuat apa saat ini. Seakan tak punya arah untuk hidupku ke depan. Hari-hariku akan sendiri di sini. Tanpa Umi, tanpa Aba. Hidupku seakan hampa terasa. Mengenai kuliah, sepertinya aku sudah tidak bisa melanjutkannya. Mengenai perjodohan dengan Mas Genta, aku pun tak fokus. Entah aku akan fokus ke mana. Pikiranku masih tak menentu.

"Aku cari-cari ternyata kamu di sini."

Aku terkesiap ketika suara Rizki persis di sampingku. Aku menoleh ke arahnya. Dia bergegas duduk di sampingku. Pandanganku kembali pada hamparan ladang sayur.

Hening.

Aku memejamkan mata ketika angin berhembus menerpa wajahku. Sejuk. Hanya di sini aku bisa tenang dan menikmati keheningan. Biasanya aku memang di pendopo ini ketika menunggu Aba sedang mengawasi pekerja yang sedang panen sayur. Sekarang aku tak bisa melihat hal itu lagi karena Aba sudah tidak ada.

"Kamu mikirin apa?" tanyanya membuka suara.

Aku menoleh ke arahnya. Rizki tak menatapku. Dia menatap hamparan ladang. Aku menunduk.

"Aku memikirkan hari selanjutnya. Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup tanpa Umi dan Aba. Aku seperti kehilangan dua sayap dalam hidupku," kataku sedih.

"Ada aku, Ra. Aku akan selalu di sampingmu." Rizki membalas.

Aku kembali menatapnya. "Enggak mungkin, Riz. Kamu juga punya masa depan sendiri yang harus diraih," tukasku.

Rizki menatapku. Pandangan kami bertemu.

"Bagaimana kalau kita raih bersama-sama?" ucapnya tenang.

Aku mengerutkan dahi. "Maksud kamu?" Aku memastikan.

Rizki mengubah posisi duduknya, menghadapku, menyilang kaki. "Aku tau kamu dari kecil. Kamu juga tau aku dari kecil. Bagaimana kalau aku nikahi kamu dan kita raih masa depan kita bersama?"

Wanita Setenang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang