ini kedua

42.3K 3.5K 176
                                    

Oke. Kamu mau mulai dari mana? Nama? Rumi Prabandani. Umur 17 tahun, kelas 11 IPA 5 (kelas penjurusan yang aku menyesal abis memilih penjurusan IPA dibanding IPS). You will know why. Engga asik menceritakan kebodohan sendiri. Apalagi yang mau kalian tahu?

Hm.

Biasanya sih, pengen tahu perihal fisik. Oke. Aku itu manis, sebetulnya. Hanya kedekilan dan kumpulan jerawat di mukaku aja yang menutupi kemanisan itu. Aku dapat menjadi manis, kalau Mas Danu memberikan uang minimal tiga juta deh (aku engga berani minta Bu Dewinta, soalnya dia engga kerja, penghasilan cuma dari Mas Danu doang), dan, wuuuush, dijamin secepat kilat juga aku bakal jadi Gal Gadot atau Megan Fox? Tapi, ya gitu. Mas Danu pelitnya minta ampun. Segala macem alesan dibuat. Ada karena genteng rusak lah, buat bayar listrik lah, atau aku harus mandiri nyari duit sendirilah. Huh. Kalau kata dalang wayang (Bu Dewinta sering banget nonton beginian di youtube), sangkin pelitnya, bisa kali Mas Danu bawa pecut waktu berak, biar lalat-lalat engga kerubunin eeknya. Iuh. Tapi bener deh, aku heran banget, kok sama adik sendiri pelit begitu. Kayak dulu waktu aku minta uang ceritanya begi—

Ceklek.

Bunyi pintu kamar yang terbuka membuatku menoleh. Di sana, si raja pelit berdiri sambil memainkan kedua alisnya. Aku menatapnya datar. Kuperhatikan pakaiannya rapi, bukan yang mau berangkat kerja, tapi seperti mau jalan keluar. Lagian ini hari Minggu.

"Kenapa?"

Akhirnya aku buka suara, karena Mas Danu hanya diam, dan melipat kedua tangannya di dada. Dia menyeringai, sebelum berbalik badan, lalu ...

Pruuuut.

Setelahnya Mas Danu kabur secepat kilat setelah menutup pintu. Aku melotot engga percaya. Mulutku terbuka lebar menatap kelakuan bejadnya itu, sebelum berteriak:

"MAAAAS DANUUUU!!!!"

Aku melotot. Fuck. Kalau kamu mau tahu, kentut dari seorang Randanu Agisetya itu ampun deh, baunya kaya sampah berbulan-bulan yang udah dikerubungi lalat sama belatung. Iuh. Laaknat banget deh. Segera saja, pintu kamar kukuak lebar-lebar, begitu juga jendela kamar agar gas beracun manusia pelit itu cepat-cepat hilang.

Sabar, Rumi. Orang sabar, jerawatnya cepat hilang.

Umur doang sudah kepala tiga, bangga banget mengaku-ngaku jadi manusia dewasa yang bertanggung jawab untuk masalah dalam rumah ini. Tapi, kelakuan bodong banget. Sambil cemberut, memikirkan balas dendam pada Mas Danu, aku turun ke ruang makan, di mana Bu Dewinta terlihat sedang sibuk menata piring-piring cantik koleksinya di meja.

Tuh lihat. Bukti ketidakadikan Mas Danu padaku. Hanya meminta uang tiga juta agar kehidupan masa depanku terjamin, pelitnya minta ampun. Giliran Bu Dewinta minta uang buat beli koleksi piring, seperti kilat langsung ditransfer.

By the way, kalau kalian penasaran, Bu Dewinta itu Ibuku. Umur 13 tahun, aku beralih memanggilnya Bu Dewinta, sebab apa ya... biar beda ajalah gitu. Lalu, kalau kalian bertanya-tanya, Bapakku di mana. Well, Bapak sudah meninggal dua tahun lalu karena diabetes. Yes, itu kenapa Mas Danu bertingkah seolah dia pemimpin keluarga. Hih.

"Selamat siang, Bu Dewinta. Menu apa hari ini yang Anda masak?" Tanyaku sambil menggeret kursi makan, kemudian duduk dan memperhatikan Bu Dewinta yang mulai mengeluarkan masakannya satu per satu. Sayur asam. Hm. Aku engga suka sayur asam, aku prefer sayur bening atau sop. Skip. Ayam goreng. Sambal, dan lalapan.

"Waw, terlihat menggiurkan sekali."

Pujian wajib untuk dilontarkan ketika Bu Dewinta menyajikan masakannya. Itung-itung sebagai apresiasi kerja Bu Dewinta yang sudah rela memasak untuk mengisi perut keronconganku.

to be young and in love [end]Where stories live. Discover now