01. Serendipity

272 46 17
                                    

ser·en·dip·i·ty
/ˌserənˈdipədē/

(n.) the occurrence and development of events by chance in a happy or beneficial way.

.

.

Ini sudah botol kopi kedua yang dibeli Lamia dari kantin. Gadis itu benar-benar mati-matian menahan kantuk yang sejak tadi menghampiri. Sesekali memijat pelipis kala rasa pusing mendadak menyerang mengingat hanya tertidur selama tiga jam semalam. Badannya bersandar di tembok dan bokongnya juga menempel di lantai dingin koridor. Menunggu selama nyaris tiga jam tanpa berani beranjak pergi.

"Ya, Sarah. Lagi di depan ruang dosen. Nunggu Pak Ketut sampai sekarang nggak dateng-dateng. Dihubungi juga nggak direspon. Nggak, kok, sama teman-teman bimbingan yang lain juga. Jadi, aku nggak sendirian."

Lamia menutup mulutnya. Tidak rela saja dia jika wajah cantiknya dilihat sedang menguap lebar-lebar. Bisa turun kadar kecantikannya itu. Baiklah Lamia memang mungkin tidak secantik itu, tapi setidaknya bagi dirinya sendiri wajahnya masih tergolong lumayan. Selagi telinganya mendengar baik-baik ucapan Sarah di ujung telepon sana. Tengah membahas terkait lancar jaya bimbingannya dibandingkan dengan Lamia.

"Oh, iya. Nanti Kak Agung bakalan datang, La. Ingat jaket yang ku pinjam waktu pulang malam dari rumahmu? Aku minta Kak Agung antar ke kamu. Nggak sempat keluar gara-gara motor sama mobil dibawa semua sama orang rumah."

Astaga, ini tidak baik.

Sudah berapa lama, ya? Mungkin sudah enam bulan kurang lebih, Lamia benar-benar mengasingkan diri dari seseorang bernama Agung itu. Mencoba sekeras mungkin tidak menampakkan batang hidungnya di depan presensi Agung. Bukan karena lelaki itu jahat atau semacamnya, hanya saja Agung terlalu baik.

Lamia bisa jamin, bahwa hatinya akan kembali bermasalah jika melihat senyum Agung yang manis terutama dengan dua lesung pipit yang dimiliki pria itu. Sekalipun lambat laun Lamia sudah memantapkan diri untuk tidak lagi terlibat apapun dengan lelaki bernama Agung, terutama membawa perasaannya ikut serta, Lamia masihlah perempuan normal. Bisa saja dia tiba-tiba tidak menjaga hatinya lebih ketat sehingga yang seharusnya tidak kembali dirasakan, malah dirasakannya kembali.

Terutama jika kembali ke masa lalu, tepat enam bulan yang lalu, Lamia sudah seperti orang kehilangan arah. Patah hati nampaknya membawa dampak besar. Gadis itu hanya duduk di luar, menghadap jendela, dengan playlist musik-musik galau mengalun memenuhi kamar. Sudah macam gadis miris yang menjadi model dari video klip lagu-lagu galau yang biasa diputar Mama pada sambungan youtube di televisi.

Tidak nafsu makan membuat berat badannya turun banyak―sekalipun itu adalah hal yang baik karena dia tidak perlu membuang tenaga untuk membakar lemak―tetap saja Lamia tidak bisa menghindari ocehan Mama serta gedoran keras di pintu kamarnya agar dia keluar untuk setidaknya menyuapkan satu sendok nasi. Tidak mau anak kesayangannya sakit, katanya.

"Lamia? Halo? Masih nyambung kan, nih, teleponnya?"

Lamia mengerjap dan menyadarkan diri dari lamunannya terkait Agung, lantas ia cepat-cepat menjawab, "Iya, Sar. Masih, kok. Kapan Kak Agung datang?"

"Udah dari setengah jam yang lalu, sih. Mungkin sebentar lagi sampai. Semangat, ya bimbingannya."

Lamia tertawa kecil, "Iya. Semangat juga revisinya. Nanti aku minta saran dikit tentang―eh, itu Kak Agung udah datang." Lamia memotong ucapannya lantaran melihat presensi Agung yang muncul dari tangga. Gadis itu melambai tangan tinggi-tinggi, agar Agung bisa melihatnya di antara kerumunan mahasiswa semester tua yang duduk di sepanjang koridor menunggu giliran bimbingan.

Reasons  [END]✔️Where stories live. Discover now