05 • Mimpi Masa Depan

Mulai dari awal
                                    

☼☼

Hawwaiz mendapatkan satu lembar surat dari pemerintah kerajaan Jepang untuk bisa melakukan kunjungan ke negara mereka. Bersama satu tim penuh, ini kali pertamanya Hawwaiz mengambil job di luar Oxford dan London.

Liburan pre midsem dipergunakannya untuk bisa menikmati musim semi di Jepang sekaligus memainkan kameranya di Disneyland Jepang. Sebuah pesta pernikahan mewah anak dari salah seorang yang sangat berpengaruh di Inggris. Menikah dengan bangsawan Jepang sehingga pesta pernikahannya dilakukan secara spektakular di sana.

Hawwaiz sendiri di-hired oleh salah satu rumah fotografi numero uno di London, bekerjasama dengan 14 fotografer terbaik yang dimiliki oleh rumah fotografi tersebut. Senyumnya mengembang sempurna karena Hawwaiz tahu, bersamaan dengan tugasnya itu Vira juga berada di kota yang sama di Jepang, jelas Hawwaiz ingin memberikan kejutan untuknya.

Sesampai di Jepang dia langsung ke hotel tempat Vira menginap, karena sebelum Vira berangkat, Hawwaiz terlebih dulu menanyakan dimana dia menginap selama di sana.

"Sorry Sir, may I help you?"

Akhirnya Hawwaiz bisa bernapas dengan lega. Memberitahukan keinginannya untuk bisa menemui tamu hotel yang bernama Elvira Aldebaran.

Sementara Elvira yang masih berada di dalam kamar hanya bisa bertanya-tanya setelah resepsionis memberitahukan ada seseorang yang ingin menemuinya dan menunggu di lobi. Siapa tamu yang ingin bertemu dengannya? Namun, setelah turun dan mengetahui orangnya, Vira menatap tidak percaya sambil mengakat kedua tangannya untuk menutup mulutnya. Hawwaiz yang sudah berdiri tegap menatap dengan senyuman khasnya.

"Selamat pagi, Sakura." Hawwaiz menyapa Vira dengan buket bunga sakura.

"Bi, kok kamu ada di sini? Ini beneran atau aku hanya mimpi? Apa ini?" kata Vira.

"Sakura yang cantik untuk seorang Sakura yang istimewa." Hawwaiz menjawabnya dengan wajah berbinar.

"Kamu--?" tanya Vira terputus.

"Aku dan kamu menjadi kita dong." Bukan Hawwaiz jika tidak membuat suasana menjadi berwafer-wafer. "Kemarin waktu di pernikahan Kak Al tidak dapat hand bucked kan, hari ini aku bawakan spesial untuk calon mempelaiku."

"Bi, please aku serius. Surprise banget bisa bertemu denganmu di sini." Vira masih dalam mode terkejut.

Hawwaiz mengajak Vira ke beberapa tempat yang dirasa cukup menarik untuk dikunjungi.

"Kita berdua saja?" tanya Vira.

"Tidak, kita dengan banyak orang di dalam kereta." Vira hanya menggeleng lalu mengekor langkah Hawwaiz menuju stasiun MRT.

"Kita akan ke mana?"

"Chiba," Hawwaiz kemudian menunjukkan sebuah tempat dari layar gawainya menunjukkan bunga kanola berwarna kuning yang begitu indah dipandang mata.

"Kamu tahu dari mana itu?" tanya Vira kemudian mencari tempat yang sama seperti milik Hawwaiz di gawainya.

"Suka?" Hawwaiz mengabadikan beberapa moment aktivitas Vira secara candid sehingga aksinya benar-benar kelihatan natural.

Usia boleh lebih tua daripada Hawwaiz tapi saat bertemu dengan hal-hal yang menuntutnya kembali ke masa kanak-kanak, Vira tak segan memperlihatkan itu di hadapan Hawwaiz. Hingga membuat calon dokter itu hanya bisa tersenyum, menggelengkan kepala dan mengikutinya sambil memainkan kamera.

"I love it," Vira berucap sambil memetik beberapa strawberry dan meletakkannya dalam satu wadah.

Dalam hati Hawwaiz berjanji akan selalu membuat Vira selalu tertawa dan bahagia. Andai pun hari ini dia mengatakan iya, tidak akan menunggu nanti, saat ini juga Hawwaiz akan menghubungi orang tua Vira dan kakaknya untuk segera memintanya.

"Bi--" Hawwaiz tergagap dari lamunannya.

"Hmmm?"

"Kamu melamun di tempat yang indah seperti ini?" tanya Vira.

"Bukan melamun tapi berpikir sejenak tentang masa depan." Tidak ada nada bercanda dari muka serius yang Hawwaiz tunjukkan.

"Oh, aku kira sedang melamun. Aku bicara banyak tadi ternyata kamu tidak menyimaknya." Vira ingin berlalu memberikan ruang kepada Hawwaiz. Berusaha tidak ingin mengganggu tapi Hawwaiz memintanya untuk tetap duduk.

"Kamu tadi bilang apa? Maaf--" pinta Hawwaiz.

"Kamu kenapa sih jadi serius seperti ini?" tanya Vira.

"Karena hidup tidak selamanya bercanda, El." Hawwaiz mendudukkan pantatnya di atas rumput hijau.

"Bi," kata Vira.

"Mau sampai kapan kita seperti ini?" tanya Hawwaiz sambil memainkan rumput yang sedang mereka duduki.

"Maksud kamu?"

"Bisa tidak kita tidak perlu kucing-kucingan seperti ini?" tanya Hawwaiz yang kini sedang mereview gambar hasil jepretannya, dan semua tentang Vira. "Senyum kamu yang ini bagus, cantik dan natural." Hawwaiz menunjukkan salah satu foto hasil bidikannya kepada Vira.

Vira kembali mendesah lirih, baru saja tadi dia berbicara tentang peraturan di perusahaannya namun Hawwaiz tidak memperhatikan. Apakah Vira perlu mengulangnya?

"Kapan aku bisa menghadap Pipi Arfan untuk membicarakan tentang kita?" tanya Hawwaiz masih dengan mode serius.

"Kita?" tanya Vira.

"Ya, kita tidak mungkin selamanya akan seperti ini bukan? Setidaknya aku bukanlah pria yang menyukai pertemuan tanpa izin seperti ini. Kamu wanita dan aku menghormati marwahmu."

"Jadi kamu serius Bi, tentang kita?" Vira masih kembali menanyakan akan hal ini.

"Ratusan kali kamu bertanya jawabannya akan tetap sama, El."

"Apa yang akan kamu katakan kepada Pipi?" tanya Vira.

Hawwaiz menghela napasnya dalam-dalam kemudian menjawabnya perlahan. "Sebagai pria yang cukup mengenyam asam garam kehidupan, aku yakin pipimu bisa membedakan mana pria yang serius dengan putrinya, mana yang hanya ingin bermain-main saja."

"Aku lebih tua dari kamu, Bi."

"Apa ada peraturan yang menuliskan bahwa pernikahan itu pria harus lebih tua daripada istrinya? Kamu ingat cerita Nabi Muhammad dengan Siti Khatijah? Atau tentang Nabi Yusuf dengan Zulaikha?"

"Masalahnya, tidak mudah di kehidupan sekarang bisa memasukkan kisah-kisah teladan itu di masyarakat."

"Mengapa harus mendengar omongan masyarakat? Hidup ini kita yang punya, mau mereka ngapain bukan menjadi urusan kita. Toh semuanya sudah ada aturannya, selama tidak melanggar aturan ya tidak akan terjadi suatu masalah."

"Mungkin bisa dimengerti oleh orang tua kita, lalu apa kamu tidak berpikir bagaimana pendapat keempat kakakmu?" tanya Vira.

"Tiga di antaranya sudah mengenal kamu dengan baik. Mungkin hanya perlu sedikit effort bicara kepada Mas Hanif. Hanya--"

"Hanya--?" ulang Vira.

"Mas Hanif itu replika Daddy, jika Daddy mengiyakan aku yakin Mas Hanif juga akan menyetujuinya.

Hawwaiz melihat awan yang berarak di langit. Kehidupan itu seperti awan yang bergerak. Tidak ada satu yang berhenti kecuali tentang hati. Berulang kali Hawwaiz menimbang keputusannya, dia mampu, lebih tepatnya merasa mampu. Tidak ada alasan yang membuatnya harus menunda.

Kesulitan mereka adalah karena kedua kakak mereka juga saling mencinta. Dan restu belum kunjung turun karena masalah sekolah Ayya. Mungkin Hawwaiz dan Elvira harus membiasakan diri bersahabat dengan kata sabar. Kepastian yang ada di depan mata adalah rasa optimis mereka untuk melangkah maju.☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 14 Maret 2023
*sorry for typo

AORTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang