Ratih tersenyum tipis. "E-enak ya ja-jadi Ha-Hana. Bi-bisa punya ba-banyak temen."

"Eh?" Hana menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Punya banyak temen belum tentu enak. Karena jumlahnya yang banyak itu jadi agak susah difilter. Mana yang bener-bener tulus berteman, sama mana yang berteman karena ada maunya." Hana menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku, mata jernihnya menatap jauh ke langit. "Tapi bukan berarti nggak punya temen itu bagus. Kita kan makhluk sosial, saling membutuhkan itu wajar. Kalau punya temen yang baik, kita bisa bertukar pikiran atau saling curhat." Hana mengalihkan perhatiannya ke Ratih. "Sekarang lo temen gue, nggak masalah kok kalau kita saling terbuka, hitung-hitung ngelepas bebas yang selama ini ditanggung sendiri."

Ratih terdiam mendengarnya. Dia nyaris menumpahkan air matanya karena terharu. Reaksinya memang sedikit berlebihan, tapi selama ini tidak pernah ada yang berkata demikian padanya. Semua orang menjauhinya karena ia memiliki banyak kekurangan. Hana adalah orang pertama yang memperlakukannya dengan hangat. Perasaan ini sedikit asing, dan perasaan ini membuat air matanya sukses tumpah dengan derasnya. Perlakukan hangat Hana berhasil menembus perasaannya yang juga ikut menghangat.

Jadi seperti ini rasanya punya teman.

Melihat Ratih menangis, Hana jadi sedikit bingung. Namun ia tidak mengatakan apa pun dan malah menarik Ratih ke dalam pelukannya. Telapak tangannya menepuk pelan punggung Ratih.

Di tengah suasana yang hangat itu, beberapa orang datang dan merusaknya. Tangan Erna menarik kerah seragam bagian belakang Hana, membuat pelukan itu terlepas dengan paksa. Ratih pun sama, kerah seragam bagian belakangnya ditarik oleh Alci. Tindakan itu sukses membuat Ratih panik dan kembali mengingat masalahnya dengan Kania dan gengnya.

"Udah puas belum peluk-peluk manjanya?" ujar Selena sembari mengambil duduk di antara Hana dan Ratih. "Sekarang enaknya diapain, ya?" Ia lantas menengok ke arah Hana. "Mau lo duluan atau Ratih duluan, nih? Kalau langsung berdua juga bisa."

"Lepasin Ratih. Yang lapor kalian itu gue." Hana berucap dengan lantang.

"Wah, sok berkorban nih ceritanya? Tapi sayang banget, gue nggak suka drama." Selena tersenyum manis lantas mengalihkan perhatiannya pada Ratih. "Suka kucing, nggak?"

Ratih menunduk tanpa menyahut. Apa pun yang dikatakan Selena, semuanya akan berakhir sama; Ratih yang menangis karena kemalangannya.

Selena mengulurkan tangannya pada Alin, dan Alin langsung memberikan sebuah spidol dengan tinta hitam. Selena berdiri tepat di depan Ratih. Alci memegang tangan kanan Ratih sementara Alin memegang tangan yang satunya.

Selena mulai melancarkan aksinya. Ia membuka tutup spidol dan mulai membuat sebuah karya seni di wajah Ratih. Spidol itu bergerak dan menghasilkan tiga garis lurus di masing-masing pipi Ratih. "Udah kayak kucing, nih. Lucu kan?" Selena menunjukkan wajah Ratih lewat kamera ponselnya. "Hewan apa lagi yang lucu,... Panda?"

Selena kembali mencoret wajah Ratih. Kali ini ia membuat sebuah lingkaran yang melingkari mata Ratih dan mengisi penuh lingkaram tersebut dengan tinta hitam. "Ih, kok nggak lucu sih? Bukannya kayak panda malah mirip setan."

Kania sedari tadi hanya menonton sambil mengunyah permen karet di mulutnya. Matanya memandang dengan bosan. Dia berdiri dengan satu tangan berada di saku roknya dan satu tangan lagi sibuk memainkan ponselnya.

"Kalian keterlaluan! Itu muka orang bukan kanvas, kalian pikir ini lucu?!"

"Bacot banget!" bentak Erna.

Kania berhenti memainkan ponselnya dan sedikit mendongakkan kepalanya. Matanya menatap Hana dengan tatapan yang sulit terbaca. Dia memberi kode kepada Erna dan Lidya untuk memegangi tangan Hana agar cewek itu tidak memberontak. Setelah meludahkan permen karetnya, sudut bibir Kania menarik senyum tipis yang terlihat jahat.

"Seharusnya lo nggak ikut campur," ucap Kania, masih dengan senyuman jahatnya yang khas.

Suaranya yang tenang membuat pergerakan yang lain terhenti. Mereka tidak bisa untuk tidak menoleh dan memperhatikan Kania dengan tatapan penasaran.

Hana menatap tepat ke arah mata Kania. Dia nyaris tidak pernah berhadapan dengan Kania secara intens sebelumnya, tetapi sekarang dia tau, ada sesuatu dari diri Kania yang mampu membuat orang tertekan dan merasa terintimidasi jika berada di dekatnya.

Dengan sedikit keraguan yang kentara dalam tatapannya, Hana menghembuskan napas pelan sebelum menjawab. "Gue akan tetep ikut campur sampai kalian berhenti. Kalian sama sekali nggak punya hak ngelakuin ini ke Ratih. Kalian memperlakukan Ratih layaknya binatang, tapi apa kalian nggak sadar kalau sikap kalian sama sekali nggak nunjukin kalau kalian manusia."

Senyum Kania berevolusi menjadi tawa kecil penuh ejekan ketika mendengar perkataan Hana. "Terus, kenapa? Dari dulu manusia memang penjahatnya. Jangan pura-pura heran."

"Tapi apa salahnya untuk jadi manusia yang bener-bener manusia? Berbuat baik nggak ada salahnya, kan?"

Kania menganggukan kepalanya dengan jelas. "Emang nggak ada salahnya. Tapi gue lebih suka ngelakuin apa yang gue mau."

Hana masih menatap cewek dihadapannya, bahkan tatapannya jauh menyelami manik mata kecoklatan yang jernih milik cewek itu. Namun, yang ia lihat hanya tatapan rumit yang tak terbaca.

Kania mengambil satu bungkus permen karet dari saku kemeja saragamnya. Ia membuka bungkus permen karet tersebut dan memasukan permen karet itu ke dalam mulutnya. "Karena milih ikut campur, berarti lo harus siap-siap dapet banyak rasa simpati dari orang-orang." Senyum Kania berangsur-angsur memudar. Kaki panjangnya melangkah menjauhi Hana.

"Udah? Segini aja? Cepet banget." Alci mendumal karena waktu senang-senang mereka sangat singkat. Cewek itu segera berjalan mengikuti Kania.

"Wah, kayaknya lo lagi beruntung, deh," ucap Selena pada Ratih. Cewek itu mengikuti langkah Alci. Setelahnya, barulah yang lainnya ikut melangkah pergi.

Hana mengamati punggung Kania yang kian lama kian menjauh. Dia jelas tau apa maksud dari perkataan Kania. Itu jelss-jelas adalah sebuah peringatan.

****

Sorry baru update

Hehe bye!

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now