Part 1

58 7 0
                                    

Sepuluh tahun kemudian..

Bukares, Rumania.

Kenyamanan kota Bukares rasanya berbanding terbalik dengan pikiran seorang gadis berambut cokelat sebahu—yang duduk bersandar di sofa. Di kedai kopi bernuansa modern, di jajaran bangunan gotik mempesona.

Faustineza, memijat kening—apa lagi yang harus gadis bersweater cokelat itu lakukan, untuk tulisannya. Tenggat naskah kurang dari dua puluh empat jam—harus dikirim ke penerbit yang ada di Jakarta. Namun, dia masih belum bisa menyelesaikan bagian terakhir. Idenya tiba-tiba mandek di tengah jalan.

"Aduh, gimana ya bikin endingnya? Kok gue jadi ragu gini si, matiin karakter Ibro," Mata besarnya menatap layar laptop, jemarinya urung mengetik sedari tadi. Ada yang dia ketik, hapus lagi. "Tapi kalo dibikin hidup, masa rombak lagi dari tiga bab terakhir, sih? Males banget," dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Wajahnya terlihat kebingungan. "Tapi gue kasihan sama Asiye. Apa Ibro gue bikin sekarat aja, kali ya? Lah, tapi nanti jadi happy ending. Arghhh bingung!" makinya setengah memekik dan mengacak rambutnya kesal.

Sikap absurdnya membuat salah satu bartender yang kebetulan sudah sedari tadi mengamati perilaku gadis itu tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Kafe yang kebetulan sedang sepi pengunjung membuatnya bisa bergerak lebih leluasa untuk berinteraksi dengan pelanggannya sebelum bel pintu kembali berdering.

"Kenapa, Mbak?"

"Eh?" Fau menatap pria berambut pirang dengan mata biru cerah yang tengah menopang dagu dari meja bartender terkejut. "Kamu bisa bahasa saya?" Matanya membulat.

"Bisa. Istri saya orang Indonesia, Mbak." jawabnya dengan bahasa indonesia yang fasih meski aksennya sedikit aneh.

"Mba penulis novel, ya?" Pria itu melepas celemek hijaunya, berjalan menghampiri Fau. "Jangan kaget, saya memang sudah mengamati kamu dari hari pertama kamu datang ke kedai saya."

Fau yang tidak tahu akan menjawab apa hanya hanya melemparkan cengiran. Ekspresi andalan gadis itu saat merasa canggung.

"Omong-omong, istri saya juga novelis lho, Mbak." Lanjutnya sambil senyum. "Sikapmu mengingatkan saya pada sikapnya setiap kali idenya macet."

"Oh iya?" tanpa sadar, Fau mulai tertarik dengan istri si pemilik kedai kopi favoritnya di Bukares ini.

Pria berwajah mirip Patrick Schwarzenegger itu tersenyum lebar. "Iya, sekarang dia sedang melakukan riset untuk novel terbarunya di Mexico."

"Wow!" Fau menatap pria itu antusias. "Apakah pihak penerbit yang mensponsori?"

"Ya, tapi hanya sebagian. Sisanya menggunakan uang pribadi." Pria pemilik kedai itu masih mempertahankan senyumnya saat mengulurkan tangan. "Percy Mounbatten."

"Faustineza Adrian."

"Senang berkenalan denganmu, Fausti—,"

Fau berusaha keras untuk tidak memutar mata saat melihat Percy seperti kesulitan untuk menyebut namanya. "Kau bisa memanggilku Fau. Lebih mudah," potongnya cepat. Terkadang dia merasa jengkel saat menyadari banyak orang selip lidah saat menyebut namanya.

"Oke, Fau. Jadi," Percy kembali menatapnya dengan tatapan bersahabat. Fau bersumpah, selain tampan, Percy adalah tipikal pria yang ramah.

"Ya?"

"Kau menulis genre apa?" Percy menopang dagu. Fau baru menyadari jika Percy memiliki mata biru muda jernih yang indah. Warna itu mengingatkannya pada air telaga sejernih Kristal yang pernah dikunjunginya entah di mana, dia lupa.

"Aku biasa menulis di genre romance comedy tapi belakangan ini aku sedang senang menulis di genre romance action. Bagaimana dengan istrimu?"

"Thriller. Istriku penulis novel detektif. Dia sangat tergila-gila dengan Sherlock Holmes."

"Wah." Sherlock Holmes memang novel detektif yang sangat menarik. "Aku tidak akan heran, Sherlock memang novel detektif terbaik yang pernah kubaca selama ini."

"Begitulah."

Percy beranjak dari kursi saat mendengar dentingan lonceng dari pintu masuk. "Omong-omong Fau, aku harus kembali kesana. Sepertinya ada pengunjung baru. Untuk naskahmu, good luck. Semoga kau segera menemukan kepingan puzzle yang hilang!"

"Hahaha! Silakan. Omong-omong, terima kasih Percy!"

"With my pleasure." Laki-laki itu mengedipkan sebelah mata sebelum beranjak.

Selepas kepergian bartender sekaligus pemilik kedai itu, Fau kembali menekuri layar Macbook-nya. Tiba-tiba saja, sebuah ide melintas di kepalanya.

Berpikir agak lama, akhirnya, jemarinya mulai nangkring di kibor, tetapi tak juga menari, gegara satu suara lebih menarik ketimbang melanjutkan menulis ide yang baru saja melintas.

Denting di pintu masuk, sosok lelaki berbadan tinggi melangkah masuk. Mata Fau mengikuti sosok pria yang baru saja masuk.

"Black tea tanpa gula dengan Papanasi Cu Branza de Vaci si Affine, satu." Kata sosok itu, berdiri di depan meja bar. Matanya masih memandangi tulisan menu di papan tulis besar yang ada di belakang meja bar.

"Ah, kebetulan hari ini kami sedang tidak membuat Papanasi Cu Branza de Vaci si Affine." Fau dapat mendengar nada suara Percy—si empunya kafe, terdengar bersalah. "Bagaimana jika diganti dengan Varza a La Cluj? Atau Sarmale? Kami mengisinya dengan daging domb-"

"Varza a La Cluj satu," potong lelaki itu. Dia memilih makanan ringan khas Rumania yang terbuat dari daging cincang, asinan kubis, dan bumbu-bumbu lain yang dipanggang menggunakan oven.

"Mengapa dia tak memilih sarmale? Hanya berbeda, dibalut dengan kubis." Batin Fau usil, bertanya sendiri sambil mengulum senyum melihat Percy yang seperti kebingungan.

Matanya, kembali fokus pada laptopnya. Saat dia memutuskan untuk kembali mengetik, suara familier itu mengejutkannya.

"Boleh saya duduk di sini?"

Gadis itu benar-benar berharap pendengarannya salah. Mengapa dari sekian banyak kursi kosong, lelaki itu memilih duduk di depannya? Menahan diri dari mengumpat, Fau mengangkat pandangannya. Kesalahan kedua terjadi lagi. Setelah sepuluh tahun berlalu.

Jantung Fau bagai berhenti ketika dia melihat wajah—tampan perpaduan antara Timur Tengah dan Eropa, berdiri di depannya. Iris cokelat gelap dengan tatapan mirip elang. Serta rambut keemasan—dulu acak-acakan, sekarang tersisir rapi. Namun senyuman miring yang tak berubah masih mempesona seperti dahulu.

Tidak mungkin!

Tuhan, tolong sadarkan Fau dari halusinasinya!

Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)Where stories live. Discover now