Part 3

36 8 0
                                    

Malam telah larut saat laki-laki itu kembali ke penginapannya yang sepi—di Kota Bukares yang tenang, Edo melayangkan pikiran ke beberapa jam lalu ketika bertemu lagi dengan gadis manga itu.

Sejak peristiwa manga di Sidney, Edo selalu membayangkan gadis berbadan kecil itu. Dari tahun ke tahun di bulan yang sama, seperti perayaan berulang yang dia ingat sendiri. Bagaimana cara gadis itu berjalan, seperti apa tatapannya juga alunan suaranya yang cempreng tetapi melekat terus di telinga. Siapa yang sangka, jarak umur mereka hanya berbeda tiga tahun lebih muda darinya?

Tubuhnya kurus dan kecil. Berbeda jauh dengan teman-teman perempuannya sewaktu duduk di sekolah menengah pertama, mereka jauh terlihat dewasa dengan bentuk tubuh yang sudah menyerupai seorang wanita dewasa.

Berbagai spekulasi mulai bermunculan dan membayang di benaknya. Lelaki berparas tampan itu berguling ke kanan dan memeluk bantal erat-erat. Sekadar menyalurkan rasa gelisahnya.

Sebelum terlelap dan menjalin mimpi, Edo mengingat saat mengantar Fau ke tempat tinggalnya, yang ternyata hanya berjarak lima ratus meter dari penginapannya.

"Jadi, apa yang kau lakukan di sini?" Edo kembali membuka percakapan setelah keduanya terdiam selama kurang lebih setengah jam.

"Mencari inspirasi," Manik cokelat terang gadis itu masih setia terpaku pada layar laptop.

"Sendirian sejauh ini?"

"Ada kerabat di sini." Jawabnya acuh tak acuh.

Edo sedikit gemas dengan keacuhan gadis itu. "Kau tidak ingin bertanya padaku?"

Fau memutar mata malas. Ciri khas gadis itu yang dapat dengan mudah diingat olehnya.

"Jadi ...," Fau menatap manik cokelat gelap nyaris hitam miliknya datar. "Apa yang kau lakukan di sini, Mr. Lavinski?"

Edo tertawa. "Aku berpetualang."

"Berpetualang, ya?" cibirnya. "Jadi, siapa gadis malang yang akan berakhir di ranjangmu malam ini?"

Edo menatap Fau sedikit tersinggung. Apakah dia terlihat serendah itu di depan gadis itu?

"Begitukah penilaianmu terhadapku?" tanyanya dengan nada getir.

Fau terlihat salah tingkah. Hal itu terekam jelas di memorinya saat melihat kepanikan sesaat di wajah gadis Asia Tenggara itu.

"Eh, bukan, maksudku—"

"Jangan salah sangka. Berpetualang yang kumaksud di sini secara harfiah. Aku membutuhkan banyak inspirasi dengan mengunjungi banyak negara karena ingin memperhatikan dan mempelajari arsitektur bangunan dari tiap negara itu."

Gadis itu menatapnya dalam diam. Entah apa yang ada di pikirannya.

"Lagipula, aku tidak pernah berkencan. Bagaimana bisa melakukan hubungan semacam itu?"

Sesuai dugaannya, gadis berambut cokelat itu terkejut.

"Memangnya harus berkencan untuk bisa melakukan hal itu?" tanyanya sedikit mencicit.

"Tidak." Edo memaksakan senyumnya. "Aku masih takut Tuhan. Kau bisa mengatakan aku kolot."

"Aku tidak percaya," ucapnya tanpa sadar. "Kau terlihat ...."

"Nakal?" senyum tipis terulas di bibir laki-laki tampan itu.

Fau mengangkat bahu. "Ya, begitulah."

"Aku penganut ajaran Nabi. Bagaimana denganmu?"

"Sama kok." Fau terlihat menggigit bibir. "Kau muslim dan ..., seorang Arsitek?"

Edo mengangguk, membenarkan. "Ya. Kau sendiri?"

"Penulis." Fau menutup laptopnya. "Kalau boleh tahu, kau berasal dari mana?"

"Aku pikir kau seorang komikus." Fau memutar mata malas mendengar perkataan Edo. "Hahaha, becanda. Ayahku berasal dari Polandia, ibuku dari Mesir. Kami tinggal di Warsawa."

"Oh, begitu. Kenapa tidak di Mesir?" Fau menopang dagu dengan tangan kirinya di atas meja.

"Umm, sebenarnya keluargaku berencana pindah ke Kairo tapi nanti setelah ayahku pensiun." Lelaki tinggi itu, menjeda sejenak, sementara Fau masih menyimak. "Bagaimana denganmu?"

"Ayahku berdarah Denmark-Indonesia sedangkan ibuku asli Indonesia. Kami tinggal di Jakarta." Fau membuang pandangan ke jendela dan mengamati lalu lalang pejalan kaki yang sore ini sudah lumayan banyak terlihat.

Edo menusuk potongan terakhir kudapannya dengan garpu. "Bagaimana rasanya hidup di sana?"

"Begitulah," Masih tanpa menoleh, gadis itu menipiskan bibir. "Jika ada kesempatan, aku ingin pindah ke luar negeri."

"Ke mana?"

"Kampung kelahiran ayahku di Wina atau di mana pun yang penting aku cocok dengan lingkungannya." Gadis bermuka tirus itu mengulas senyum tipis sebelum memberanikan diri menatap bola mata cokelat Edo—yang menghanyutkan.

Manis. Pikirnya. Terlibat di dalam obrolan ringan semacam itu lebih menyenangkan. Ketimbang bersitegang seperti sebelumnya.

Edo tersenyum dalam hati, sambil memandang langit-langit kamarnya. Banyak hal yang sebenarnya ingin dia ingat, tapi seiring berjalannya waktu, rasa kantuknya semakin menguat. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas saat laki-laki itu merasa ingin menyerah dan membiarkan kegelapan menyergap alam sadarnya.

Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)Место, где живут истории. Откройте их для себя