Part 4

34 5 0
                                    

Sepeninggal Edo yang tadi bersikeras mengantarnya pulang, Fau tidak bisa tidur semalaman. Sebagai gantinya, otaknya diberi kelancaran ide untuk menyelesaikan bagian terakhir novel—yang sedang dia tulis, "How To Survive as a Single Fighter."

Gadis itu mendesah lega sesaat setelah menekan berhasil tombol kirim pada pukul tiga kurang lima dini hari, atau lima menit sebelum tenggat. Rasanya puas karena terlambat lima menit saja, editor yang juga sahabat masa kecilnya, super cerewet akan menceramahinya.

Fau menyetel alarm pukul setengah enam pagi. Dia memang bukan orang yang religius, tetapi setidaknya dia tidak pernah melupakan kewajibannya pada Tuhan dengan menunaikan ibadah lima kali sehari secara tepat waktu. Masalah tidur, dia bisa melanjutkannya lagi setelah ibadah paginya selesai. Untung saja, tidak ada perbedaan yang signifikan antara jam ibadah paginya di Bukares dan di Indonesia.

Dia baru saja mematikan lampu dan menelusupkan diri ke dalam selimut. Kepalanya mulai menyentuh bantal nyaman yang sedari tadi diabaikannya. Namun, semua itu urung dilakukannya saat mendengar bunyi klik di pintu. Kilas cahaya yang masuk melalui daun pintu membuatnya secara otomatis menegakkan badan.

"Fau?"

Ternyata kakak sepupunya, sang pemilik rumah.

"Ya?"

"Kamu belum tidur?" kepala wanita sang pemilik rumah melongok dari pintu yang terbuka setengah.

"Ini mau tidur, Mbak. Tadi ngejar deadline," kekehnya. "Kenapa, Mbak?"

Rucita membuka pintu kamar adik sepupunya lebih lebar dan melangkah masuk. "Nggak pa-pa, kukira kamu lupa matiin lampu. Oh iya, boleh aku tanya sesuatu?" Wanita berambut panjang dan ikal itu duduk di tepi ranjang.

"Tanya aja, Mbak. Kayak sama siapa aja." Dalam hati, Fau khawatir juga, pasti berhubungan dengan Edo.

"Kamu tadi dianter siapa?" Pertanyaan kakak sepupunya itu benar-benar tepat sasaran.

"Mbak Rucita bukannya tadi pergi?" Batin gadis berpiyama itu bergemuruh, saat melihat Rucita duduk di pinggir ranjangnya. Walau berpenampilan berantakan di sinari temaram lampu tidur, tetap terlihat jelas.

Seolah mengerti isi hati adik sepupunya, gadis berusia dua puluh sembilan itu tersenyum simpul. "Aku emang pergi, tapi tetangga kita, Tefo ngeliat kamu dianter cowok pakai Renault."

Fau nyengir kuda. "Eduardo, Mbak. Kenalan baruku di kedai Percy."

"Percy?" Rucita menaikkan satu alis.

"Percy Mounbatten, pemilik kedai kopi yang sering aku kunjungi itu, loh." Lanjutnya masih dengan cengiran lebar.

"Oh, yang istrinya orang Bandung itu, ya?" Rucita mengangguk, "Eduardo orang mana? Hati-hati loh, sama orang asing. Jangan sembarangan mau diantar. Kamu tahu sendiri lagi marak kasus penculikan dan penjualan wanita. Aku nggak mau, disalahin om dan tante kalo sampe putri satu-satunya ilang."

Fau tertawa menanggapi kecemasan Rucita yang sebetulnya masuk akal. "Orang Polandia Mbak, tapi campuran Mesir dan tinggal di Warsawa. Ya kali ilang, Mbak! Inshaallah aku bisa jaga diri. Apa gunanya sabuk hitam kalau jaga diri aja nggak bisa?"

Rucita mengeplak pelan kepala adik sepupunya. "Hush! Jangan sombong kamu. Segala hal bisa terjadi, sesuai dengan kehendak Tuhan. Udah ah, pokoknya kamu hati-hati. Kamu sempet tukeran kontak nggak sama dia?"

"Iya, iya, Mbak. Makasih lho, wejangan dini harinya." Gadis berpiyama itu hanya terbahak. "Tukeran kontak, sempet. Kenapa, Mbak?"

"Kalau dia mau ngajak kamu pergi, ajak dia ke rumah dulu biar aku sama Will mastiin dia aman dulu. Oke? Jangan ngebantah."

"Nggak yakin aku, Mbak."

"Loh, kenapa?" Lagi, Rucita mengangkat satu alisnya. Ciri khas keluarga Adrian, suka mengangkat satu alis.

"Siapa tahu, dia udah balik ke negaranya," ucap Fau sedikit tidak yakin.

"Aku yang nggak yakin kalo dia bakal balik secepat itu setelah tukeran kontak sama kamu." Rucita tersenyum misterius. "Ya udah. Intinya, kalo dia mau ngajak kamu pergi, harus ngelewatin proses interogasi kita dulu. Oke, my little sister?" Tangan Rucita terulur, mengacak rambut Fau.

Fau mendengkus tapi tak ayal dia juga mengangguk. "Aye aye Big sister!"

Wanita mantan WNI yang sekarang menjadi warga Negara Rumania sekaligus berprofesi sebagai Psikolog Forensik itu menatap Fau hangat, bangkit dari ranjang dan ke luar dan menutup pintu.

Fau menghela napas panjang. Diinterogasi Rucita dan suaminya, William Bowell yang berprofesi sebagai detektif di salah satu institusi swasta yang bekerjasama dengan pemerintah Rumania pastinya tidak akan mudah.

Kakak sepupu iparnya adalah orang yang sangat teliti dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Tidak mudah mengelabui laki-laki keturunan Irlandia-Inggris yang telah bernaturalisasi menjadi warga negara Rumania itu.

Gadis itu diam-diam berharap jika laki-laki asing yang menjadi cinta pertamanya itu bukan seorang kriminal atau terlibat skandal yang merusak reputasinya. William-Rucita adalah double combo, mereka berdua bisa menghimpun informasi selengkap dan sedetail mungkin dalam waktu—yang singkat.

"Semoga saja Edo bukan kriminal atau apapun itu yang membuat pasutri itu melarangku bertemu dengannya," lirih Fau pelan sebelum mulai memejamkan mata dan tertidur.

Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang