Part 9

20 4 0
                                    

Setelah menempuh jarak kurang lebih 120 kilometer dari pusat kota Bukares ke arah selatan, Renault yang dikendarai Edo mulai memasuki wilayah kastil. Kira-kira jarak Jakarta-Bandung, hanya saja kendaraan di Negara ini tertib dan jam pagi seperti ini keadaan kota cukup lengang sehingga mobil dapat melaju dengan cepat tanpa hambatan yang berarti.

Fau merasa beruntung, berada di wilayah Bran Castle yang ikonik dengan nuansa mistik yang menarik.

Mata Fau membulat seperti bersinar melihat bentangan kastil, yang ikonik, sungguh, ini kesempatan langka. Nuansa mistik sudah dirasakan ketika langkahnya mobil semakin mendekati pintu masuk kastil

"Indah sekali." Gumamnya saat melangkahkan kakinya turun dari mobil dan menatap antusias ke sekelilingnya. Udara yang sejuk ditambah rindangnya pepohonan yang hijau membuat sedap dipandang. Kastil itu terlihat suram tetapi indah, karena benar-benar ada di depan mata. Membentang dari barat ke timur dan persis ada di bukit yang membuatnya terlihat menjulang bagaikan kastil di atas awan.

"Masuk sekarang?" tawar Edo yang kini tengah mengalungkan tas DSLR miliknya.

Gadis berambut cokelat sebahu itu mengangguk. Mata cokelat terangnya masih setia memutari sekelilingnya dengan binar bahagia layaknya anak kecil. Banyak turis berkunjung di jalanan yang terbuat dari batu alam. Karena musim semi, jalanannya kering hingga membuat Fau bisa berlari kecil seperti anak TK di jam istirahat, dan Edo bisa memotret pemandangan indah dengan kamera yang dibawanya.

"Kau tidak ingin berfoto? Sayang kalau momen ini tidak diabadikan." Edo membuka tas kecil berisi DSLR miliknya dan mulai mengatur lensa yang akan digunakan untuk memotret.

"Nanti," sahutnya.

Gadis itu berjalan menjauhinya sembari mengurai rambut sebelum berlarian riang di halaman kastil yang cukup dipenuhi pepohonan rindang seperti anak kecil. Sesekali Edo dibuat jantungan saat Fau nyaris tersandung sesuatu.

"Ya Allah ini gue beneran menginjakkan kaki di kastil drakula?" Gadis itu menahan napas, mulutnya bagai tak bisa mengatup, begitu telapaknya menyentuh dinding kastil yang suram. Sebagian turis sudah ada di dalam, sama mengagumi bangunan bersejarah ini. Berulang kali dia bergumam, hampir tak percaya, tetapi ini sangat nyata. Kesempatan yang mungkin hanya akan terjadi sekali dalam hidupnya. "Asli dah, ini gue nggak lagi mimpi kan ya? Gila seneng banget gue!"

Berbagai macam pekikan berbahasa asing terdengar dari kejauhan. Meski dirinya tidak mengerti apa yang sedang diocehkan oleh gadis itu, Edo tersenyum geli.

"Ternyata, sesederhana itu." Eduardo Lavinski mungkin lebih banyak mengandalkan logika tapi kali ini firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Gadis komik ceroboh yang ditemuinya sepuluh tahun yang lalu.

Faustineza Adrian. Perempuan dewasa berusia dua puluh tiga tahun yang kini bertingkah layaknya anak usia sepuluh tahun hanya karena impian masa kecilnya terpenuhi.

Diam-diam, Edo mengarahkan lensa kamera ke arah gadis yang kini sedang terdiam dan menatap ke arah langit dengan mata terpejam.

"Momen yang bagus!" pikirnya. Skill fotografi yang dimilikinya menghasilkan banyak jepretan candid kualitas terbaik yang tentu saja tidak disadari gadis yang menjadi objek lensanya.

"Eduardo!"

Buyar sudah lamunannya. Fau berdiri di depannya dengan ekspresi lucu. Sepasang manik cokelat bulat teddy bear miliknya membesar, Edo paham makna ekspresi itu.

"Kau bisa memfotoku?" Malu-malu, Fau melirik ke arah DSLR yang tergantung di leher lelaki jangkung di depannya.

Dalam hati Edo menggumam,"Sejak tadi aku udah fotoin kamu." Dia melempar senyum khasnya—yang miring. "Oke. Mau di mana?"

Edo bisa mengatakan bahwa Fau tipikal effortless photogenic. Tanpa diarahkan dan tanpa berpose layaknya model majalah. Gadis itu sudah bisa memberikan gambar yang bagus. Tentunya hal itu didukung oleh skill fotografi yang dimiliki lelaki berambut keemasan.

Suramnya kastil itu enggak ada apa-apanya, jika ada Edo di sampingnya. Lelaki itu terkadang bersikap misterius, tapi di situlah daya tariknya. Fau bahkan pernah berimajinasi jika seandainya laki-laki itu adalah seorang vampir yang sedang menyamar? Vampir tampan maksudnya. Mencari—pasangan untuk menemaninya di kastilnya ini, hati Fau seperti tertawa.

"Kau tidak ingin ganti kufoto?" tanya Fau.

"Memangnya bisa?" tanyanya setengah meledek. Niatnya bukan menghina, hanya ingin melihat gadis itu cemberut.

"Jangan meremehkanku!" tanpa banyak kata, gadis yang tinggi tubuhnya hanya seleher Edo itu merebut DSLR yang sedang dipegangnya.

"Mau di mana?" Giliran Fau yang bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari DSLR milik laki-laki itu.

"Di sana," ucapnya sambil menunjuk suatu tempat dan mengulum senyum.

Emosi Fau yang labil membuat suasana hatinya membaik.

"Pada dasarnya suasana hatiku selalu buruk, itulah sebabnya aku selalu mengandalkan persona." Edo tersenyum lebar saat Fau memintanya berpose senyum lima jari. "Namun, entah mengapa sejak kehadirannya, aku merasa tidak perlu berpura-pura lagi."

"Edo ..."

"Ya?"

Fau terlihat bimbang. Dia ingin foto bersama Edo menggunakan polaroid miliknya tapi terlalu gengsi untuk mengatakannya.

"Kalo nggak sekarang, kapan lagi? Lo bisa kehilangan momen kapanpun." Fau menggigit bibir, tanda bahwa dia sedang merasa dilema.

"Kau ingin bicara apa?"

"Umm," Fau terlihat menggigit bibir.

"Nggak usah gengsi, sih." Lelaki berparas tampan itu tertawa. "Bicara saja apa susahnya?"

Hm! Fau mengalah dan memilih menekan egonya. "Mau foto bareng, nggak? Pakai polaroidku." ucapnya sembari mengayun-ayunkan polaroid berwarna putih miliknya dengan tatapan polos.

"Kenapa nggak dari tadi?" Tangan besar Edo terulur, refleks mengacak pucuk kepala Fau, tanpa disadari membuat jantung gadis itu mulai berdetak kencang. "Malu, ya?" godanya melihat Fau hanya diam dan pipinya merona.

"Berisik! Ini aku lagi nyalain polaroidnya." Ucapnya cepat. Wajahnya memerah, menahan rasa malu yang menjalari kedua pipinya.

Eduardo Lavinski hanya tertawa menanggapi elakan gadis itu, dan rasa gengsi selangitnya.

Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora