Part 10

20 4 0
                                    

Kastil Drakula, Transylvania, Rumania.

Sepuluh hasil cetakan foto polaroid mereka dibagi dua. Fau mendapat lima, begitu juga dengan Edo. Gadis itu masih merasa tidak menyangka kalau momen semacam ini benar-benar hadir di hidupnya.

Eduardo Lavinski adalah proyeksi dari momen tak terduga itu. Lelaki tengil yang wajahnya selalu membayangi pikiran Fau selama sepuluh tahun.

Bahkan, saat tiga kali menjalin hubungan asmara dengan tiga pria berbeda yang ditemuinya selama masa sekolah dan kuliah, dia takkan pernah bisa melupakan wajah laki-laki blasteran Arab-Bule itu. Masuk akal? Mungkin tidak, pertemuan—yang hanya beberapa menit, tetapi, terekam selamanya dalam ingatan. Dan Fau menyimpan semua rasanya untuk lelaki—tinggi itu.

Tanpa sadar, Fau menatap sosok tinggi—yang sedang berdiri terpaku, mengagumi interior kastil. Terlepas dari perilaku tengilnya, Edo terlihat mempesona dengan ketampanan dan karisma yang dimilikinya.

Fau memang sudah terjatuh ke dalam pesona matanya yang seperti jelaga. Bibir merah yang tersenyum miring, selalu terbayang sejak pertemuan pertama mereka. Dan,rahang tegas yang takkan pernah terlupa meski sepuluh tahun telah berlalu.

"Hei!"

Gadis bermanik teddy bear itu mengerjapkan mata terkejut saat melihat sosok laki-laki yang sedari tadi dia pikirkan sudah berdiri menjulang di depannya.

"Memikirkanku, hm?"

"Tengil banget, si!" Gerutunya dalam hati. "Untuk apa?" sahutnya galak, berusaha menutupi malu. Fau hendak berjalan menjauhi Edo karena tengsin saat tangan lelaki itu menahan lengannya.

"Apa?" sentaknya, tetapi, gadis itu tak bisa menampik jika jantungnya berdebar tak karuan.

"Ada bulu mata jatuh." Lelaki itu memangkas jarak di antara mereka.

"Di mana—Aw!" Fau refleks menjerit saat sesuatu memasuki mata sebelah kirinya. "Sial, gue butuh kaca." Jeritnya dalam hati, "Kau tahu di mana toilet?"

"Tidak tahu! Aku pun baru pertama ke sini. Sudah, sini, coba kulihat." Edo menarik pelan pergelangan tangan Fau yang masih dipakai untuk mengucek matanya.

"Gila, bisa jantungan gue." Alih-alih jantungnya meledak, Fau menolak tawaran Edo. "Nggak usah!"

"Yakin? Kau kan tidak membawa kaca dan kita juga tidak tahu di mana toiletnya." Edo menatap gadis itu setengah khawatir.

"Daripada muka lo deket banget ke muka gue, bikin jantung meledak," rutuknya dalam hati, "nggak pa-pa—Aw!" Fau mengutuk bulu mata sialan yang membuat mata kirinya berair dan perih.

Gadis itu sudah berusaha mengucek-ucek matanya tapi hasilnya nihil. Sungguh, dia benar-benar butuh cermin!

"Tolong, sekali ini aja jangan mendebatku." Edo sedikit menarik paksa tangan kiri gadis itu dan mengunci pergelangannya. "Daripada kau tersiksa."

Semuanya berjalan begitu cepat saat laki-laki itu memangkas jarak di antara mereka dan Fau refleks memejamkan mata dan menahan napas. Aroma citrus yang menguar dari tubuh lelaki itu sempat membuat Fau ingin pingsan di tempat karena detakan jantungnya yang semakin menggila.

"Buka matanya. Kalo kau memejamkan mata begitu, bagaimana bisa aku meniupnya?"

"Hell! Ternyata Edo cuma mau niup mata gue, kirain mau nyosor!" batin Fau.

Menahan rasa malu, Fau berusaha keras memasang wajah sedatar mungkin dan membuka matanya. Mengabaikan rasa tidak nyaman bercampur perih dari bulu mata sialan yang jatuh tanpa tahu situasi, dia membiarkan Edo meniup mata kirinya.

"Sudah." Edo mengusap pipi Fau dengan ibu jari. "Lebih enak?"

Mata kirinya sudah terasa lebih baik. Bulu mata sialan itu sudah jatuh ke pipinya dan membayangkan bagaimana Edo mengusap pipinya membuat jantung Fau ingin meledak menjadi serpihan-serpihan debu kosmik. Hatinya saat ini tak berbeda layaknya kastil drakula yang suram namun romantis. Edo cukup suram, namun cukup membuat hatinya yang rapuh berbunga-bunga.

"Ya. Terima kasih." Ucapnya tulus.

"Lanjut jalan lagi?" Edo bertanya, langsung disanggupi oleh gadis berambut cokelat itu.

Tanpa sadar, Fau menarik tangan laki-laki itu untuk mengikuti langkahnya, seperti anak kecil yang sedang merajuk minta dibelikan permen kapas. Sesederhana itu, namun cukup menghangatkan hati Eduardo Lavinski yang beku.

Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)Where stories live. Discover now