Part 12

14 4 0
                                    

Bukares, 08.00 pm.

"Gila!" Fau mencengkeram erat seatbeltnya sampai buku-buku tangannya memutih.

Edo terlihat semakin dalam menekan gas. Sesuka-sukanya dia dengan mobilnya, menghabiskan perjalanan antar kota dengan kecepatan rata-rata seratus lima puluh kilometer per jam membuat jantung gadis itu seakan ingin lepas dari tempatnya.

Eduardo Lavinski memang pantas disebut gila. Perjalanan Transylvania-Bukares sejauh 120 kilometer yang seharusnya ditempuh dalam waktu tiga jam bisa ditempuh laki-laki itu dalam waktu dua jam kurang.

"Kita masih punya waktu satu jam untuk makan, bukan?" Lelaki itu tersenyum tanpa dosa dan mulai memelankan laju mobilnya saat memasuki kota Bukares yang relatif lengang.

"Kita mau makan apa?" Fau memilih mengalihkan topik setelah berhasil menetralisir degup jantungnya yang menggila. Antara deg-degan dibawa ngebut lelaki blasteran Arab-Kaukasia itu atau deg-degan karena sadar kalau senyum Edo ternyata lumayan manis.

"Kau mau makan apa?"

"Nasi?"

"Nasi?" Lelaki itu mengulang perkataan Fau yang masih terlihat pucat.

"Aku pengen nasi goreng ...," ucap gadis itu tanpa sadar.

"Nasi goreng?" Edo menatap Fau bingung. Apa itu nasi goreng?

"Lupakan!" Fau cepat-cepat meralat ucapan melanturnya, "Apa aja yang nunggunya nggak lama tapi bukan drive thru."

Berusaha mengabaikan rasa penasarannya akan nasi goreng, Edo menopang dagu dan berpikir. "Apa, ya? Masakan Indonesia?"

"Memangnya ada?" tanyanya polos.

"Tidak tahu, sih." laki-laki itu nyengir. "Cari saja di Tripad Advisor."

"Ya udah deh, aku cari yang paling deket rumah." Gadis itu mengambil ponselnya yang sedari tadi terletak di laci dasbor.

Sembari menunggu, Fau menemukan tempat yang tepat untuk mengisi perut mereka yang sudah keroncongan, Edo memilih mengatur playlist supaya tidak bosan.

Setelah beberapa saat Edo mulai gelisah, sebentar lagi jam malamnya berlalu. Akan fatal akibatnya kalau melanggar.

"Gimana? Udah hampir dua puluh menit kita hanya berputar-putar," peringat Edo. "Apa kau lupa, batas waktumu hanya sampai jam sembilan?" lelaki itu berusaha menjaga intonasi nadanya agar tidak meninggi karena kesal.

"Mcd aja gimana?" Setengah kecewa, dia ingin makan nasi. Namun, akhirnya Fau memutuskan, makanan cepat saji.

"Astaga." Edo mengembuskan napas kasar. Melewati Mcd dua kali dan waktu yang hampir habis, rasanya lelaki itu ingin marah besar. "Kau tahu, kita sudah melewati Mcd dua kali!" Tangannya lalu sibuk memutar kemudi.

"Iya, iya, kamu nggak marah, 'kan?"

"Aku marah," candanya sambil mengembangkan senyum.

"Dih, marah tapi senyum-senyum."

Edo tidak menanggapi dan memilih fokus mengemudi. Lelaki tinggi itu lebih suka menyembunyikan rasa kesalnya seorang diri.

Kalau boleh jujur, dia ingin mengemudi dengan lebih santai daripada ngebut. Menikmati waktu di perjalanan sembari mendengarkan playlist yang sesuai dengan suasana hatinya atau bercakap dengan gadis cerewet yang berada di sampingnya itu.

Atau, sesekali berhenti di tempat yang bagus panoramanya untuk berfoto atau sekadar menikmati pemandangan dan bukannya menginjak pedal gasnya dalam-dalam dan membuat gadis di sampingnya pucat pasi karena dia yang menyetir mirip orang kesetanan.

Jangankan bisa menenangkan pikiran, yang ada, saraf-sarafnya di kepalanya semakin menegang.

"Semua gara-gara Bowell sialan!" rutuknya dalam hati. Tetapi, tentu saja Edo tidak berkutik. Lebih baik menyetir bak orang gila seperti tadi dari pada tidak boleh menghabiskan waktu dengan gadis berwajah mungil yang sedang menempelkan pipi di kaca jendela mobilnya.

Eduardo Lavinski masih punya waktu tujuh hari untuk menghabiskan waktu dengan novelis asal Bandung itu. Dan dia, tentu saja tidak ingin menyia-nyiakan kesempatannya hanya karena memenangkan egonya.

"Kau kenapa?" Fau menatap laki-laki di sampingnya heran. Sejak memasuki kota Bukares, Edo terlihat lebih pendiam.

"Nggak pa-pa." Fau tahu laki-laki itu sedang memaksakan senyumnya.

"Kau yakin?" Gadis itu tentu saja tidak semudah itu percaya.

Edo mengangguk. "Iya."

Renault perak yang dikendarai Edo, memasuki pelataran parkir saat keduanya memilih tenggelam di dalam angan mereka masing-masing.

"Apa ...." Gadis bermanik teddy bear dengan iris cokelat terang itu melirik lelaki yang duduk di kursi kemudi itu takut-takut. "Kesal karena aku minta dadakan ke sini?"

Edo mengeluh dalam hati, "Sedikit." Tentu saja, tak terucap. Lelaki itu berkilah, "enggak, kok. Udah yuk, turun! Sebentar lagi waktunya habis," sahutnya datar.

Fau merasa, lelaki tinggi nan kurus itu berbeda, air wajahnya berubah sepanjang sore. Gadis itu setengah malas melangkahkan kaki keluar dari sedan itu. Di satu sisi, dia merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap Edo, tapi dia bisa apa?

"Ayo." Edo mengulurkan tangan. "Kau sudah lapar, bukan?"

Fau sempat beberapa saat menatap uluran tangan laki-laki itu sebelum menerimanya dengan perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata.

Fau tersentak kecil ketika menyentuh telapak tangan besar milik Edo, "Tanganmu dingin," ucap gadis itu.

"Sudah biasa, memang begini kalau kelamaan terkena udara dingin." Gumamnya pelan dengan suara berat dan serak.

Tanpa diduga, Edo menyusupkan jemarinya di antara jemari milik Fau dan menariknya mendekat ke arahnya.

"Mau apa?" tanyanya waswas.

"Masukkan tanganmu ke saku jaketku," jawabnya cuek. "Biar hangat. Kau bisa sakit kalau dibiarkan dingin seperti ini."

Derap jantung Fau sudah kacau balau, apa lagi mendengar suara dalamnya serak tadi."Seseorang, tolong! Tenggelamkan aku ke sungai Thames!" jerit gadis itu dalam hati.

Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)Where stories live. Discover now