3. Iri Yang Terpendam

2.9K 544 36
                                    

Pukul setengah dua belas malam, aku terbangun dari tidur. Kulihat di sisi kiri kasur, Nenek terlelap pulas. Aku memandanginya dengan tanpa kedip. Bibirku mengulas senyum tipis. Perempuan usia tujuh puluh tahun ini memang satu-satunya yang dengan tulus melimpahiku dengan kasih sayang. Dia tak pernah peduli, bahwa seharusnya aku patut dibenci—seperti yang dirasakan Yonggi. Dia menjadi alasan kenapa aku merasa harus tetap bertahan pada dunia yang tak pernah adil ini.

Senyumku luntur saat menyadari ada suara dalam napas Nenek. Belakangan, kesehatan Nenek menurun. Yonggi jadi makin rutin memeriksakannya ke dokter. Tapi kata dokter itu, tidak ada penyakit serius dalam tubuh Nenek. Hanya butuh istirahat lebih dan tidak terlalu banyak pikiran saja.

Menoleh ke arah nakas, aku mengambil termos kecil dan memeriksa isinya. Ternyata sudah kosong. Padahal, Nenek selalu terbangun untuk minum air hangat. Jadi, kuputuskan untuk turun dari ranjang dan keluar kamar. Gelap langsung menyergapku. Remang-remang, karena ada bantuan sedikit cahaya yang berasal dari lampu samping rumah dan menembus dinding kaca.

Ketika sampai di ambang pintu dapur, langkahku terhenti. Mataku menangkap sosok tegap yang sedang duduk di meja pantry. Bukan kursinya, tapi benar-benar di meja. Satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinga, sedangkan satunya lagi mengapit sesuatu yang didekatkan ke mulut. Rokok. Posisinya yang menyamping, pasti membuatnya tidak menyadari keberadaanku. Apalagi saat ini aku tidak memakai alas kaki, sehingga tidak ada suara langkahku.

"Kagaklah, Ndong. Gila lo!"

Aku mematung. Ndong. Grandong. Mengingat nama itu membuat peganganku pada termos menguat. Kakiku sendiri tetap terpaku di lantai.

"Kagak, elah!" Aku bisa mendengar Yonggi berdecak keras. "Nggak level gue, kencan kayak gitu."

Kencan?

"Lo tahu gue sukanya sama siapa."

Mataku mengerjap. Suka? Yonggi sedang dekat dengan perempuan selain Kak Agnes?

"Ya elo!" Lalu Yonggi tergelak.

Apa maksudnya?

"Tidur sana, Ndong! Nggak baik buat tuan putri macam lo, masih melek tengah malam gini."

"..."

"Elah. Gue gini karena peduli sama lo. Masa lo nggak ingat? Kita kan soulmate!"

"..."

"Najis-najis manis, ya?" Dia tertawa lagi. "Perlu kiriman pap finger love special dari Yonggi Tomio yang ganteng ini?"

Sementara aku memejamkan mata sesaat, mencoba mengusir rasa nyeri di ulu hati—tapi gagal. Aku tidak benci pada perempuan cantik yang hidupnya sangat beruntung itu. Hanya saja, perbedaan perlakuan Yonggi pada masing-masing dari kami selalu berhasil melukaiku. Aku kerap melihat bagaimana Yonggi memperlakukan Kak Agnes dengan penuh kasih sayang, bercanda dan bahkan sering membuatkan makanan. Berbeda sekali denganku yang selalu ketus dan dingin.

Sekali lagi, aku tidak benci. Aku hanya iri dengan bagaimana cara dia memperlakukan sahabatnya dari kecil itu. Padahal baik aku dan Kak Agnes, sama-sama dikenal oleh Yonggi sejak kecil. Dia dan Kak Agnes berteman sejak TK. Sedangkan kata Nenek, Yonggi sudah sangat mempedulikanku bahkan sejak hari pertama aku dikenalkan pada dunia. Tapi justru sekarang aku sama sekali tidak mendapatkan perhatian itu. Entahlah, mungkin dia memang sudah tak menyimpan rasa itu lagi.

"Ngapain?"

Aku tersentak. Nyaris tersungkur ke belakang jika tidak berpegangan pada pintu. Berapa lama aku sibuk dengan pikiranku sendiri hingga tidak sadar kalau obrolan mereka sudah selesai, dan Yonggi menyadari keberadaanku?

"M-mau ... ambil minum." Kupeluk termos di depan dada, sekadar mengurangi ketakutan akan tatapan tajam Yonggi.

Setelah itu, aku melangkah pelan memasuki dapur. Tanganku sedikit gemetar mengambil panci, kemudian mengisinya dengan air. Lalu menaruhnya di atas kompor yang sudah kunyalakan. Selama melakukan itu, bukannya aku tak sadar kalau sedari tadi diawasi oleh dia. Seolah dia ingin mencari celah kesalahanku.

"Ngapain?!"

Aku yang baru menuang bubuk kopi instan ke dalam mug, sedikit terlonjak. Lalu menoleh padanya yang sudah berdiri di belakangku, menatap marah. Kali ini, aku salah apa lagi?

"Bikin apa?"

Aku menelan ludah, mendengar nadanya yang sama sekali tidak lembut. "Ko-kopi."

"Ngapain malem-malem bikin kopi?!" Mataku membulat saat Yonggi mengambil mug itu dan membuang isinya ke wastafel, kemudian menyiramnya dengan air. "Lupa kalau masih datang bulan, ha? Mendadak pikun?! Kalau perutmu sakit lagi, siapa yang repot? Aku! Nggak puas ya kalau belum bikin aku kerepotan? Sialan!"

Menunduk singkat, aku menggumamkan maaf dengan terbata. Kemudian membalikkan badan dan meraih panci di atas kompor. Airnya sudah mendidih. Langsung saja kutuangkan isinya ke dalam termos, yang hanya mengisi setengah bagian. Kemudian aku tambah dengan air dingin. Jadi airnya tidak panas, namun tidak dingin juga. Setelah itu tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku berlalu meninggalkan dapur. Berlama-lama di dekatnya memang tak pernah berakhir baik.

Sampai di kamar, aku menaruh termos di atas nakas. Kemudian membawa langkah ke depan cermin, memandangi wajahku yang buruk rupa. Kuraba bekas luka bakar yang memanjang dari bawah telinga kiri hingga ke dagu samping. Apa ini alasan Yonggi membenciku? Tentu tidak. Maksudku, ya, salah satunya. Sedangkan alasan utama adalah karena aku yang menjadi malapetaka di keluarganya yang semula utuh.

Aku menghela napas. Menepuk-nepuk dada untuk menghilangkan rasa sesak itu. Seharusnya aku terbiasa dengan kalimat kasar Yonggi. Karena jika dihitung, ah ... tidak bisa dihitung kan? Bertahun-tahun aku menerima ini. Aku harusnya tidak sakit hati. Tapi kenapa tidak bisa? Apalagi ketika teringat, lagi-lagi, betapa bedanya perlakuan dia padaku dibanding dengan Kak Agnes.

Kak Agnes, maaf. Walaupun aku nggak benci Kakak, tapi aku tetap nggak suka Kakak. Aku ... iri dengan semua keberuntungan yang Kakak punya.

***

Yah, begitulah....

Yah, begitulah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini Lili....

To Reveal It (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang