9. Tidak Berhak

2.1K 519 29
                                    

"Sorry, Li, gara-gara gue, lo jadi kena marah Tomi."

Mendengar nada bersalah dalam suaranya, aku hanya tersenyum kecil. Ini sudah dua hari sejak malam di mana Doni dan Yonggi saling pukul, dan baru siang ini kami bertemu. Biasanya dia yang mengantar Nenek pulang menginap dari rumahnya, tapi kemarin yang mengantar ayahnya. Tadi pagi juga belum sempat bertemu karena aku langsung masuk kelas.

"Gara-gara kita pergi ke festival itu?" Renata yang sedang mengotak-atik laptop, menyela.

"Iya." Doni meringis.

"Nggak apa-apa." Tersenyum kecil, aku menerima sebatang cokelat yang diulurkan Doni. Dia juga memberikannya pada Rena. "Aku nggak menyesal, kok, bisa nonton Stars and Rabbit."

"Lo nggak dikasarin kan?"

Aku menggeleng. "Yonggi nggak pernah kan, kasarin fisik?"

Aku tidak perlu menceritakan tentang kenekatanku pergi dari rumah dan berakhir menginap di apartemen Bang Bian. Aku tidak ingin mereka semakin kesal.

"Tapi batin?" Rena memberengut lucu. "Lagian lebay banget sih dia. Cuma ke food festival aja nggak boleh. Jahat. Kamu kan nggak bisa dikekang gitu. Dia manusia atau enggak sih?"

"Manusia." Aku meringis. "Dia yang biayain hidup dan kuliahku, ingat? Jadi ya, dia berhak larang aku ini itu."

"Tapi nggak gitu juga." Rena menggerutu. Lalu dia menunduk ketika ponselnya berbunyi. "Eh A Epin. Aku angkat telepon dulu ya."

Aku memandangi Rena yang sedikit menjauh sambil menghela napas. Lalu menoleh pada Doni yang kelihatan melamun. "Don, jangan gitu lagi, ya. Aku nggak larang kamu bela aku. Tapi jangan dengan pukul-pukulan gitu. Aku takut lihatnya."

"Gue kelepasan kemarin."

"Iya, aku ngerti." Kulirik Rena yang kelihatan masih asyik berbincang. "Tapi, Don, tolong jangan sebut-sebut soal sakit jiwa lagi ya? Yonggi bisa kalap."

Doni mendesah gusar. "Yang satu itu, gue nggak sengaja. Sumpah, Li. Gue cuma nggak rela lo disemena-menain sama dia. Sampai keceplosan sebut kata itu."

Aku mengangguk. "Aku tahu kamu nggak sengaja."

"Tapi, Li, dia ngomong kasar gara-gara itu?"

"Enggak. Aku cuma khawatir dan ... ngerasa salah lagi." Aku menerawang ke depan, memainkan cokelat yang belum juga kubuka bungkusnya. "Dia nggak mungkin kacau dan selalu hilang kendali tiap dengar sebutan itu, kalau bukan karena aku kan?"

"Li,"

Aku menunduk, menggigit bibir. "Ibunya meninggal waktu dirawat di rumah sakit jiwa. Gimana dia nggak kacau? Iya, kan?"

"Li!" Aku mendongak saat Doni berdiri, menatapku dengan raut marah. "Berkali-kali gue bilang apa, Li? Lo nggak salah. Lo nggak ada andil dalam kekacauan di hidup Tomi. Dia bisa nyalahin lo sampai sekarang, tapi itu nggak bikin lo jadi salah beneran. Berhenti nyalahin diri sendiri."

"Don, tapi–"

"Berengsek si Tomi, emang!"

Aku menghela napas berat, memandangi Doni yang pergi dengan kesal. Dia selalu seperti itu kalau sedang emosi. Pergi begitu saja, dan akan kembali datang kalau sudah tenang.

"Doni kenapa?" Rena kembali, tapi matanya terarah pada Doni yang tengah mengumpati seorang gadis yang menabrak badannya. "Marahin si Jessi, lagi."

Aku hanya meringis, tidak tahu harus menjawab apa. Jessi yang disebut Rena barusan adalah gadis yang menabrak badan Doni, juga merupakan mantan kekasihnya. Gadis itu sekarang menoleh ke arah kami dengan tatapan penuh permusuhan, sebelum berlalu diikuti dua temannya.

"Nanti A Epin jemput."

Aku ikut tersenyum. "Diajak jalan?"

"Diajak makan siang bareng di Vinint. Kamu juga."

Aku mengerutkan kening. "Aku?"

Rena mengangguk. "Tuh kakak-kakakan kamu yang minta."

"Yonggi?"

"Siapa lagi?" Rena mendengus. "Aku maunya suruh A Epin anter kamu pulang aja, tapi A Epin nggak mau. Katanya jangan terlalu ikut campur urusan Bang Tomi. Ih kan bukan dia tapi kamu yang mau ikut campurin. Kesel!"

"Nggak apa-apa. Aku nggak mau Yonggi marah lagi kalau aku nggak nurut."

Sepertinya Yonggi sedang sangat sibuk sampai tidak bisa mencuri waktu untuk menjemputku. Kalau memang dia banyak pekerjaan, seharusnya membiarkanku pulang sendiri bukan? Tapi tidak. Karena aku melanggar aturannya untuk tidak pergi bersama Doni, dia seolah makin tidak memercayaiku. Kemarin saja dia yang menjemput dan menyuruhku menunggunya di kafe hingga selesai bekerja. Sekarang juga ternyata.

Tapi aku tidak bisa menolak, bukan? Karena aku tidak berhak atas hidupku sendiri.

***

Ini harusnya diupdate semalam tapi aku lupa 🙈

Sebagai gantinya, aku double up hari ini. Nantikan yaa

To Reveal It (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang