13. Bolehkah Meminta Tolong?

2.2K 545 48
                                    

Dosen telah meninggalkan ruangan setelah mengucap salam. Ini pertama kalinya aku merasa lega luar biasa ketika kelas selesai, selama setahun aku kuliah. Aku benar-benar merasa hari ini berjalan sangat lama, apalagi dosen terakhir menambah tiga puluh menit waktu mengajarnya. Ditambah, kepalaku sangat pusing dan badanku makin tidak enak dibanding tadi pagi. Suasana hatiku sungguh buruk sekarang.

Selepas ini aku tinggal menunggu Yonggi, lalu pulang bersamanya. Dengan dia memang aku tidak bebas, tapi jauh lebih tidak nyaman lagi saat aku berada di kampus tanpa Rena. Aku seperti orang hilang. Doni memang ada, tapi dia beda gedung dan tingkat. Tentu tidak bisa terus bersamaku.

Setelah mengemasi buku-buku ke dalam tas, aku buru-buru keluar. Berjalan di antara mereka yang kurasa memperhatikan dengan aneh, membuatku tidak bisa mengangkat kepala. Aku merasa gelisah, takut dan panik. Saat-saat seperti ini, aku ingin sekali berada di dekat Yonggi. Setidaknya jika aku tak membantah, dia tidak akan terlalu jahat. Meski memang hanya diam dan seolah menganggapku patung. Tapi itu lebih baik daripada seperti ini.

"Eh!"

Aku meringis. Sedikit merasa linglung saat menyadari bahwa tubuhku sudah tersungkur di lantai. Seseorang baru saja menabrakku dari arah berlawanan.

"Eh, sorry-sorry!" Orang yang berdiri di depanku menoleh tak acuh. Hanya sekilas, karena matanya mengarah ke tempat lain. "Nggak apa-apa, kan? Gue buru-buru. Sorry!"

Lalu dia berlalu begitu saja. Tanpa memedulikanku yang masih terduduk, ditatap aneh oleh mereka yang lewat. Juga sepertinya dia tidak merasa bersalah, telah membuat jaketku basah oleh cairan kopi yang tadi dibawanya. Aku meringis, menyadari bahwa bekas cairan itu menodai warna biru cerah jaket dan celana jeans putihku. Padahal suhunya masih cukup hangat. Juga cup itu seperti masih penuh, dan semua tumpah kepadaku.

Lagi, aku hanya bisa menghela napas sabar dan bangkit. Jika itu Rena, dia pasti akan berteriak dan mengejar orang itu. Menuntut pertanggungjawabannya yang memang nol. Tapi aku hanya Lili. Seorang gadis yang tidak berhak bersuara, protes, bahkan menguasai hidupnya sendiri. Seorang Lili hanya boleh diam, menerima, dan mungkin sedikit mengeluh pada tubuhnya sendiri. Sebuah keluhan yang melegakan dengan perantara peniti atau cutter. Hanya benda-benda itu yang jadi temanku.

Alih-alih melanjutkan langkah menuju gerbang, aku berbalik arah. Masih ada waktu sampai Yonggi sampai. Aku bisa memanfaatkannya dengan membersihkan noda di jaket dan celana. Melihat pakaianku berantakan, dia pasti akan bertanya atau bahkan mendesak. Dan aku tidak suka menjelaskan hal buruk yang kualami di kampus, padanya. Jadi cepat-cepat aku masuk ke toilet terdekat.

"Aduh." Aku bergumam sendiri, sambil menciprati jaket dengan air, setelah berada di toilet.

Kuulangi mencipratkan air lagi, lalu menggosok-gosoknya. Entah kenapa ini sedikit susah. Mungkin warna atau bahan kainnya ikut mempengaruhi. Untungnya setelah mengulanginya beberapa kali di jaket dan celana, noda itu lumayan tersamarkan. Tidak sepenuhnya hilang, tapi juga tidak akan tampak jelas kalau tidak dalam jarak dekat.

Baru saja membasuh tangan, ponselku berdering. Aku segera mengangkatnya setelah melihat bahwa nama Yonggi tertera di sana. Bisa saja aku langsung lari ke gerbang, tapi dia akan marah kalau teleponnya tidak langsung kuangkat.

"Ha-halo."

"Di mana?" tanyanya datar. "Aku bilang apa? Tunggu di gerbang. Mau kabur?"

"E-enggak. Aku ... aku di toilet. Tung–"

Ucapanku tertelan lagi, ketika pintu toilet terbuka. Mataku membulat, melihat Jessi dan dua temannya masuk. Rasa was-was langsung menghampiri saat melihat salah satu dari mereka menutup dan mengunci pintu. Kucengkeram erat-erat ponsel di sisi tubuh.

To Reveal It (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang