47 | Sumbu Pendek

7.2K 1.3K 28
                                    

1401

Aku mengurung diri sepanjang malam, tak menerima kunjungan dari siapa pun termasuk Lembayung yang selalu setia menemani. Dada ini sesak ketika mengingat percakapan Wikramawardhana dan Yunda Sudewi belasan tahun silam, serta pertengkaran Wikramawardhana dan Dhipta yang masih hangat. Aku tak mengindahkan pandangan Paramartha, Wijayawardhana, serta yang lainnya. Aku sudah lelah dengan semua kesedihan yang menimpa, mengapa mereka kembali menorehkan luka?

Terjaga hingga pagi buta, aku memilih pergi menyelinap dari penginapan ini. Niat hati ingin menentramkan jiwa di candi pendharmaan Hayam Wuruk yang tak begitu jauh. Aku mengenakan kain tambahan agar tak kedinginan. Sepanjang perjalanan, aku tak ada hentinya menatap langit bertabur bintang. Tak ada polusi, udara begitu jernih. Aku tertawa miris jika seandainya Kangmas Hayam Wuruk melakukan perjalanan waktu dengan tubuhnya sendiri ketika masih muda, tak seperti aku yang hanya membawa jiwa. Mungkin sang maharaja akan langsung mengalami sesak napas atau bahkan keracunan karbon monoksida. Apa ada kesempatan bagi jiwa Kangmas Hayam Wuruk untuk mendiami raga seorang lelaki pada abad kedua puluh satu, kebalikan dari yang terjadi padaku?

Di tengah lamunan, aku tak menyadari bahwa ada langkah kaki yang mengikuti. Aku berbalik dan mendapati Dhipta menunduk, tak berani menatapku. Aku menatapnya sinis dengan mata yang berkaca-kaca, mengingat kejadian kemarin malam. "Untuk apa kau mengikuti Ibunda?"

Ia berjalan mendekatiku tanpa sepatah kata. Ketika berhadapan denganku, ia membenarkan letak kain yang kukenakan agar kembali menutupi dada. Baru sesaat kemudian, ia berani menatapku dengan wajah yang jelas terlihat merasa bersalah dan menyesal. Aku membuang muka, masih enggan bertatap mata dengan putraku sendiri.

"Maafkan aku, Ibunda," bisiknya lirih.

Aku mendengus kesal dengan air mata yang kembali bercucuran. "Kamu pikir semuanya bisa selesai dengan satu permintaan maaf? Jutaan kali pun tak akan bisa mengubah pandangan Wikramawardhana yang semakin mencurigaimu! Kamu bodoh, Dhipta, bodoh. Ibunda tak pernah mengajarimu untuk sembarangan berkata tanpa memikirkan konsekuensinya. Ibunda tak pernah mengajarimu untuk bertindak gegabah! Apakah ini karena perseteruan kalian beberapa tahun lalu? Ketika kau memberikan wilayah Lasem kepada Nagarawardhani dan kemudian Wikramawardhana memberikan wilayah yang sama kepada Kusumawardhani sehingga mereka berdua menyandang gelar kembar?"

"Aku tahu, Ibunda. Aku tahu. Aku telah memaafkannya atas tuduhan Kangmas Wikramawardhana puluhan tahun silam, begitu juga masalah gelar kembar Bhre Lasem sing Ahayu dan Bhre Lasem sing Halemu. Satu-satunya alasanku membencinya adalah karena ia telah menyakiti Yunda Kusumawardhani." Ia masih berbisik lirih dengan tatapan terluka. Aku terdiam, tahu bahwa Dhipta sangat menyayangi kakak tirinya itu. Tapi, aku tak tahu menahu tentang apa yang diperbuat Wikramawardhana kepada Kusumawardhani. Setahuku, mereka terlihat saling menyayangi. Wikramawardhana terlihat begitu mencintai Kusumawardhani, sehingga kukira tak ada yang salah dengan hubungan mereka. Kini, aku enggan membahas Kusumawardhani karena terlampau kecewa dengan putraku sendiri.

"Bagaimana sekarang, huh? Kangmas Wikramawardhanamu tak akan memaafkanmu, Dhipta. Ibunda tak akan bisa menghentikan amarahnya karena tak memiliki kuasa. Bagaimana jika ia berniat membunuhmu?" erangku frustasi. "Ah ya, benar. Mari tinggalkan saja takhtamu di Blambangan dan kita bisa hidup sebagai orang biasa. Kita bisa memulai hidup baru di tanah Melayu."

Dhipta menggenggam kedua tanganku, lalu menggeleng lemah. "Tidak, aku tidak bisa meninggalkan tanah yang dititipkan oleh ayahanda begitu saja, Ibunda. Sebagai gantinya, aku dan Kangmas Wikramawardhana tidak akan saling bertegur sapa sepanjang sisa hidup kami."

"Tidak semua pertengkaran harus diakhiri dengan perpisahan, Dhipta. Apa kau tak memikirkan apa yang akan dirasakan oleh ayahandamu jika mengetahui keponakan dan putranya berseteru? Sia-sia saja ia mengupayakan kedamaian di tanah Majapahit jika kalian berdua merusaknya."

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang