10 | Kedekatan yang Aneh

17.3K 2.8K 448
                                    

1359

Esoknya, kami tak pergi menuju tempat pendharmaan dan bhakti lainnya. Kami diberi waktu bebas untuk menikmati indahnya alam Tumapel. Kudengar tak jauh dari keraton, terdapat sebuah sumber air bernama Kedhung Biru. Tempat ini tersohor karena keindahan alaminya. Karena penasaran, aku memilih mendatangi tempat itu. Arangga tentu saja ingin ikut, tetapi ayahanda dan Kangmas Adirangga memerintahkan ia untuk tetap tinggal. Ada urusan, katanya. Jadilah aku berangkat sendirian bersama seorang rewang yang menunjukkan jalannya. Arangga akan menyusul nanti. Setidaknya, begitu yang ia janjikan padaku.

Tak butuh waktu lama, aku tiba di Kedhung Biru. Tempatnya rindang, dikelilingi oleh pohon beringin tua yang akar-akarnya bergelantungan. Sumber air ini biasanya digunakan sebagai pemandian oleh kalangan bangsawan. Sebenarnya, selain faktor keindahannya, aku ingin mencoba mandi di tempat seperti ini. Sejujurnya, aku belum mandi pagi, hehehe. Pemandian ini terdiri dari susunan bata merah, seperti beberapa candi di Trowulan seperti Bajang Ratu. Dinamakan Kedhung Biru karena airnya sangat jernih, berwarna biru hingga dasarnya terlihat. Agaknya aku meragukan bahwa tempat ini sering digunakan oleh para bangsawan. Pasalnya, tidak ada siapa pun di sini. Dengan bantuan rewang, aku bersiap masuk ke dalam air yang dingin. Ah, seandainya airnya hangat seperti pada Pemandian Cangar di Batu. Pasti aku akan betah berlama-lama hingga kulitku mengkerut. Seperti di luar pemandian, bagian dalamnya yang berbentuk lingkaran juga dikelilingi pohon beringin yang menghalangi sengatan matahari di siang hari. Namun karena saat ini masih pagi, tentunya hal itu tidak berpengaruh banyak.

Aku memposisikan tubuhku senyaman mungkin. Bersandar di tumpukan bati bata, aku merentangkan kedua tanganku yang turut bersandar. Mendongak ke atas, aku merasakan sensasi air dingin dan murni memanjakan kulitku. Sesekali burung-burung terbang melintas di langit, hinggap di dahan beringin. Ada untungnya aku terlempar ke masa ini. Menjadi seorang putri temenggung membuatku tak perlu mengerjakan hal-hal yang berat. Aku tidak memiliki beban untuk menimba ilmu di sekolah yang kadang-kadang membuatku stress. Baguslah, aku memiliki waktu untuk bernapas sejenak dari rutinitas yang mencekik. Tak lupa, aku membasuh wajah dan membasahi sedikit rambutku. Tak adil rasanya jika yang menikmati dinginnya air ini hanya tubuhku. Wajah dan rambutku bisa berteriak agar diberikan bagian untuk menikmati kesegaran ini juga.

Memejamkan mata, aku semakin menikmati sensasi berendam di sumber air ini. Air ini belum terkontaminasi limbah-limbah. Murni, bukan olahan seperti air di masa depan yang kadang sudah terkontaminasi penjernih atau kaporit. Aku terbelalak kaget bak melihat lelembut ketika membuka mata. Ada seorang lelaki berdiri dan menatapku intens, membuatku berteriak dan spontan menutup tubuhku yang hanya menggunakan kemben dan jarik sederhana yang khusus digunakan di pemandian. Lelaki itu tersenyum ketika melihatku berteriak kaget. Aku langsung menjatuhkan pandanganku ke jernihnya air. Sial, kenapa lelaki ini selalu bertukar pandang denganku, sih? Aku tak yakin bisa mematuhi wejangan orangtuaku yang berjumlah tiga poin itu.

Aku telah memandang Maharaja Hayam Wuruk untuk keempat kalinya sekarang. Kenapa juga dia harus ada di setiap tempat yang kukunjungi? Sadarlah, Ayu, maksudku Gauri. Kau diundang sang maharaja dalam perjalanannya, tak aneh jika dia selalu muncul. Sang maharaja memakai pakaian yang tak terlalu ribet. Maksudku, ia tak mengenakan mahabhusana wilwatiktapura sebagai seorang raja. Mahkota pun ia tanggalkan, menyisakan pemandangan rambut panjangnya yang dicepol ke atas.

"Sedang memanjakan diri di pemandian ini?" tanya sang maharaja. Sumpah, kalau dia adalah rakyat biasa, aku pasti sudah memakinya. Berani-beraninya ia berkata genit seperti itu padaku? Orang ini belum tahu rasanya ditendang di bokong rupanya.

Namun, sebaliknya. Aku menjawab sembari sedikit mengulum senyum. "Benar, Baginda."

Bagaimanapun, ia benar. Aku datang kemari untuk memanjakan diri, menikmati, atau apa pun itu di dinginnya sumber air. Lumayan, bisa membuat pori-pori kulitku tertutup.

[Majapahit] Forgive Me For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang